BeritaDEKHO - Penjelasan Menaker atas Kasus Pekerja Asing di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta:
Sebelum masuk pada kasus Halim, kiranya perlu dijelaskan bahwa di dalam aturan kita, orang asing masuk ke Indonesia itu satu hal, sedangkan orang asing bekerja di Indonesia itu hal lain.
Jelas bahwa tidak semua orang asing ke Indonesia unt bekerja, krn banyak yang masuk unt tujuan wisata atau tujuan lain yang bukan unt bekerja. Mereka bisa masuk dengan menggunakan visa kunjungan (turis) atau menggunakan fasilitas bebas visa. Untuk semua kunjungan orang asing, baik dg menggunakan visa turis atau menggunakan fasilitas bebas visa, maka deteksinya ada di data perlintasan yang terdapat di Direktorat Jendral (Ditjen) Imigrasi Kemenkumham.
Oleh karena itu, apabila ditemukan masalah org asing yang bekerja (pekerja asing) di lapangan, maka ada dua aspek yang perlu dipahami, yaitu aspek perizinan dan aspek pelaksanaan izin di lapangan.
Perizinan mencakup izin tinggal yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Imigrasi di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, dan izin kerja atas nama perusahaan pengguna TKA (tenaga kerja asing) yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA Kementerian Ketenagakerjaan.
Izin kerja atas nama perusahaan itu disebut IMTA (izin mempekerjakan tenaga kerja asing). Sedangkan izin tinggal disebut ITAS ( izin tinggal terbatas) atau ITAP (izin tinggal tetap).
Jika ditemukan masalah pekerja asing di lapangan, maka harus dicek dua poin di atas, yaitu: (1) apakah yang bersangkutan punya izin tinggal dan izin kerja?, dan (2) apakah di lapangan ditemukan pelanggaran terhadap penggunaan kedua izin tersebut.
Jika pekerja asing mengantongi KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas), maka waktu tinggalnya maksimal 12 bulan dan dapat diperpanjang sampai dg 5 th. Jika mengantongi KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap), berarti izin tinggalnya minimal 5 tahun. Pelanggaran terhadap hal itu tentu saja tidak boleh dan semua itu berada dibawah otoritas Imigrasi kita.
Jika pekerja asing di Indonesia mengantongi KITAS atau KITAP tetapi tidak bekerja, maka yang bersangkutan tidak wajib punya izin kerja (IMTA). Tetapi jika ia bekerja ya tentunya wajib punya IMTA. Jika punya KITAS atau KITAP saja tetapi nggak punya IMTA dan sementara ia nyata-nyata bekerja, maka itu jelas pelanggaran. Sanksinya, menurut ketentuan yang ada, adl sanksi pidana kurungan penjara dan/atau denda. Mengiringi sanksi tersebut adl pendeportasian pekerja asing ilegal tersebut.
Apabila pekerja asing mengantongi IMTA atas nama perusahaan tertentu, itu masih hrs dicek lagi: (1) apakah perusahaan yang menggunakannya sama dg perusahaan yang tertera dlm IMTA? (2) apakah pekerjaannya di lapangan sesuai dg jabatan pekerjaan dlm IMTA? Jika tidak sesuai, itu jg pelanggaran, yakni penyalahgunaan izin kerja (IMTA).
Sanksinya adl sanksi administratif (pencabutan IMTA) dan/atau denda. Tindakan deportasi juga mengiringi sanksi ini.
Contoh pelanggaran dalam hal ini, misalnya: seorang pekerja asing memegang IMTA atas nama perusahaan A, tp di lapangan dia ternyata dipekerjakan oleh perusahaan B. Itu pelanggaran krn perusahaan pengguna TKA tidak sesuai dg perusahaan yang mengajukan permohonan IMTA. Ini berarti penyalahgunaan izin kerja (IMTA).
Sebelum masuk pada kasus Halim, kiranya perlu dijelaskan bahwa di dalam aturan kita, orang asing masuk ke Indonesia itu satu hal, sedangkan orang asing bekerja di Indonesia itu hal lain.
Jelas bahwa tidak semua orang asing ke Indonesia unt bekerja, krn banyak yang masuk unt tujuan wisata atau tujuan lain yang bukan unt bekerja. Mereka bisa masuk dengan menggunakan visa kunjungan (turis) atau menggunakan fasilitas bebas visa. Untuk semua kunjungan orang asing, baik dg menggunakan visa turis atau menggunakan fasilitas bebas visa, maka deteksinya ada di data perlintasan yang terdapat di Direktorat Jendral (Ditjen) Imigrasi Kemenkumham.
Oleh karena itu, apabila ditemukan masalah org asing yang bekerja (pekerja asing) di lapangan, maka ada dua aspek yang perlu dipahami, yaitu aspek perizinan dan aspek pelaksanaan izin di lapangan.
Perizinan mencakup izin tinggal yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Imigrasi di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, dan izin kerja atas nama perusahaan pengguna TKA (tenaga kerja asing) yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA Kementerian Ketenagakerjaan.
Izin kerja atas nama perusahaan itu disebut IMTA (izin mempekerjakan tenaga kerja asing). Sedangkan izin tinggal disebut ITAS ( izin tinggal terbatas) atau ITAP (izin tinggal tetap).
Jika ditemukan masalah pekerja asing di lapangan, maka harus dicek dua poin di atas, yaitu: (1) apakah yang bersangkutan punya izin tinggal dan izin kerja?, dan (2) apakah di lapangan ditemukan pelanggaran terhadap penggunaan kedua izin tersebut.
Jika pekerja asing mengantongi KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas), maka waktu tinggalnya maksimal 12 bulan dan dapat diperpanjang sampai dg 5 th. Jika mengantongi KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap), berarti izin tinggalnya minimal 5 tahun. Pelanggaran terhadap hal itu tentu saja tidak boleh dan semua itu berada dibawah otoritas Imigrasi kita.
Jika pekerja asing di Indonesia mengantongi KITAS atau KITAP tetapi tidak bekerja, maka yang bersangkutan tidak wajib punya izin kerja (IMTA). Tetapi jika ia bekerja ya tentunya wajib punya IMTA. Jika punya KITAS atau KITAP saja tetapi nggak punya IMTA dan sementara ia nyata-nyata bekerja, maka itu jelas pelanggaran. Sanksinya, menurut ketentuan yang ada, adl sanksi pidana kurungan penjara dan/atau denda. Mengiringi sanksi tersebut adl pendeportasian pekerja asing ilegal tersebut.
Apabila pekerja asing mengantongi IMTA atas nama perusahaan tertentu, itu masih hrs dicek lagi: (1) apakah perusahaan yang menggunakannya sama dg perusahaan yang tertera dlm IMTA? (2) apakah pekerjaannya di lapangan sesuai dg jabatan pekerjaan dlm IMTA? Jika tidak sesuai, itu jg pelanggaran, yakni penyalahgunaan izin kerja (IMTA).
Sanksinya adl sanksi administratif (pencabutan IMTA) dan/atau denda. Tindakan deportasi juga mengiringi sanksi ini.
Contoh pelanggaran dalam hal ini, misalnya: seorang pekerja asing memegang IMTA atas nama perusahaan A, tp di lapangan dia ternyata dipekerjakan oleh perusahaan B. Itu pelanggaran krn perusahaan pengguna TKA tidak sesuai dg perusahaan yang mengajukan permohonan IMTA. Ini berarti penyalahgunaan izin kerja (IMTA).
Contoh lainnya: seorang pekerja asing di dalam IMTA tertera jabatannya sbg manajer tetapi di lapangan dia bekerja sbg technical engineer. Itu jg pelanggaran karena menyalahi jabatan yang tertera dalam IMTA. Perlu diketahui bahwa dalam aturan ketenagakerjaan, hanya jabatan-jabatan tertentu saja dan bersifat keahlian yang boleh diduduki oleh pekerja asing.
Pendek kata, pekerja asing disebut melanggar apabila: Satu, tidak memiliki izin kerja (IMTA). Misalnya: masuk pakai visa turis tapi di lapangan bekerja. Ini yang sering disebut sbg pekerja ilegal. Dua, punya izin kerja (IMTA) namun perusahaan pengguna atau pekerjaannya di lapangan tidak sesuai dg yang tertera dlm IMTA. Ini yang sering disebut sbg penyalahgunaan izin kerja.
Terhadap pelanggaran semacam itu, Kemnaker cq. Pengawas Ketenagakerjaan berwenang untuk menindak perusahaan dan mengeluarkan si pekerja asing dr tempat kerja dengan cara apa saja. Selanjutnya, Pengawas Keimigrasian berwenang untuk memproses pidananya dan memulangkan yang bersangkutan ke kampung asalnya (deportasi).
Bagaimana dg kasus 5 org pekerja asing asal Tiongkok yang ditangkap oleh Otoritas Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma krn melakukan aktivitas ilegal?
Setelah dicek di data Direktorat Pengendalian dan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemnaker dan setelah di cross check dg data perlintasan di Direktorat Imigrasi Kemenkumham, ditemukan hal-hal sbb:
Pertama, dari 5 org pekerja asing asal Tiongkok itu, 4 org diantaranya punya izin kerja (IMTA) dan 1 org lainnya tidak memiliki izin kerja. Berarti, yang 1 org jelas melanggar krn bekerja tanpa izin kerja. Jika mereka melanggar juga dlm hal izin tinggal, maka ranahnya berada dlm kewenangan Imigrasi.
Kedua, setelah dicek datanya, 4 org pekerja asing yang memegang izin kerja itu memiliki izin kerja jangka pendek (6 bulan) dg jabatan 2 org technical engineer, 1 orang finance manager dan 1 org lainnya sbg research and development manajer. Dalam hal jabatan ini tidak masalah krn memenuhi ketentuan yang ada.
Ketiga, setelah dikroscek antara data izin kerja (IMTA) dengan fakta di lapangan sesuai hasil pemeriksaan pihak Imigrasi Jakarta Timur, maka ditemukan bahwa 4 org tsb memiliki IMTA atas nama PT. Teka Mining Resources (TMR). Artinya, PT TMR itulah pengguna sah dr keempat pekerja asing tsb. Ternyata dari hasil pemeriksaan Imigrasi, keempat org tsb di lapangan bekerja atas nama PT. GCM (Geo Central Mining). Dlm hal ini berarti ada pelanggaran dlm pelaksanaan IMTA terkait dg perubahan perusahaan pengguna. Ini merupakan penyalahgunaan izin kerja (IMTA).
Keempat, setelah dikroscek data jabatan di izin kerja (IMTA) dg aktivitas pekerjaan di lapangan sesuai hasil pemeriksaan Imigrasi dan Otoritas Pangkalan Udara Halim, ternyata berbeda. Menurut izin kerjanya, keempat pekerja asing tsb berposisi 2 org sbg technical engineer, 1 org manajer keuangan dan 1 orang sbg research and development manager. Tetapi di lapangan mereka melakukan aktivitas pekerjaan yang berbeda. Ini berarti ada penyalahgunaan izin kerja terkait jabatan/pekerjaan.
Khusus terkait dg aktivitas ilegal mereka di kawasan Bandara Halim Perdana Kusuma tentunya menjadi ranah dr Otoritas Pelabuhan Udara Halim Perdana Kusuma.
Dengan temuan-temuan tersebut, maka Kemnaker mengambil bbrp langkah. Pertama, PT. TMR dan PT. GCM diblokir sementata dr sistem pelayanan TKA online di Direktorat PPTKA Kemnaker krn pelanggaran yang dilakukan. Dua, PT. TMR dan PT GCM dipanggil unt klarifikasi. Tiga, menurunkan pengawas ketenagakerjaan ke lapangan unt berkoordinasi dg Imigrasi, otoritas Pangkalan Udara Halim, dan instansi terkait guna pemeriksaan kasus. Keempat, bersama-sama dg instansi terkait dilakukan pendalaman pemeriksaan kpd para pekerja asing yang melanggar. Kelima, melakukan penegakan hukum sesuai ketentuan yang ada.
Perlu ditambahkan bahwa warga negara asing boleh bekerja di Indonesia sepanjang memenuhi syarat, baik terkait izin tinggal dr Imigrasi, izin kerja, syarat kompetensi, jabatan yang diduduki dan lain-lain termasuk membayar levy (retribusi) melalui bank dan langsung ke kas negara.
Selama orang asing bekerja di Indonesia mengantongi izin dan di lapangan bekerja sesuai dg izin tinggal maupun izin kerja yang diterbitkan alias memenuhi semua ketentuan yang ada, maka tidak ada masalah. Tetapi jika melakukan pelanggaran ya harus ditindak sesuai ketentuan yang ada, termasuk pencabutan IMTA dan memudikkan pekerja asing yang melanggar ke kampung asalnya. (rilis)
Pendek kata, pekerja asing disebut melanggar apabila: Satu, tidak memiliki izin kerja (IMTA). Misalnya: masuk pakai visa turis tapi di lapangan bekerja. Ini yang sering disebut sbg pekerja ilegal. Dua, punya izin kerja (IMTA) namun perusahaan pengguna atau pekerjaannya di lapangan tidak sesuai dg yang tertera dlm IMTA. Ini yang sering disebut sbg penyalahgunaan izin kerja.
Terhadap pelanggaran semacam itu, Kemnaker cq. Pengawas Ketenagakerjaan berwenang untuk menindak perusahaan dan mengeluarkan si pekerja asing dr tempat kerja dengan cara apa saja. Selanjutnya, Pengawas Keimigrasian berwenang untuk memproses pidananya dan memulangkan yang bersangkutan ke kampung asalnya (deportasi).
Bagaimana dg kasus 5 org pekerja asing asal Tiongkok yang ditangkap oleh Otoritas Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma krn melakukan aktivitas ilegal?
Setelah dicek di data Direktorat Pengendalian dan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemnaker dan setelah di cross check dg data perlintasan di Direktorat Imigrasi Kemenkumham, ditemukan hal-hal sbb:
Pertama, dari 5 org pekerja asing asal Tiongkok itu, 4 org diantaranya punya izin kerja (IMTA) dan 1 org lainnya tidak memiliki izin kerja. Berarti, yang 1 org jelas melanggar krn bekerja tanpa izin kerja. Jika mereka melanggar juga dlm hal izin tinggal, maka ranahnya berada dlm kewenangan Imigrasi.
Kedua, setelah dicek datanya, 4 org pekerja asing yang memegang izin kerja itu memiliki izin kerja jangka pendek (6 bulan) dg jabatan 2 org technical engineer, 1 orang finance manager dan 1 org lainnya sbg research and development manajer. Dalam hal jabatan ini tidak masalah krn memenuhi ketentuan yang ada.
Ketiga, setelah dikroscek antara data izin kerja (IMTA) dengan fakta di lapangan sesuai hasil pemeriksaan pihak Imigrasi Jakarta Timur, maka ditemukan bahwa 4 org tsb memiliki IMTA atas nama PT. Teka Mining Resources (TMR). Artinya, PT TMR itulah pengguna sah dr keempat pekerja asing tsb. Ternyata dari hasil pemeriksaan Imigrasi, keempat org tsb di lapangan bekerja atas nama PT. GCM (Geo Central Mining). Dlm hal ini berarti ada pelanggaran dlm pelaksanaan IMTA terkait dg perubahan perusahaan pengguna. Ini merupakan penyalahgunaan izin kerja (IMTA).
Keempat, setelah dikroscek data jabatan di izin kerja (IMTA) dg aktivitas pekerjaan di lapangan sesuai hasil pemeriksaan Imigrasi dan Otoritas Pangkalan Udara Halim, ternyata berbeda. Menurut izin kerjanya, keempat pekerja asing tsb berposisi 2 org sbg technical engineer, 1 org manajer keuangan dan 1 orang sbg research and development manager. Tetapi di lapangan mereka melakukan aktivitas pekerjaan yang berbeda. Ini berarti ada penyalahgunaan izin kerja terkait jabatan/pekerjaan.
Khusus terkait dg aktivitas ilegal mereka di kawasan Bandara Halim Perdana Kusuma tentunya menjadi ranah dr Otoritas Pelabuhan Udara Halim Perdana Kusuma.
Dengan temuan-temuan tersebut, maka Kemnaker mengambil bbrp langkah. Pertama, PT. TMR dan PT. GCM diblokir sementata dr sistem pelayanan TKA online di Direktorat PPTKA Kemnaker krn pelanggaran yang dilakukan. Dua, PT. TMR dan PT GCM dipanggil unt klarifikasi. Tiga, menurunkan pengawas ketenagakerjaan ke lapangan unt berkoordinasi dg Imigrasi, otoritas Pangkalan Udara Halim, dan instansi terkait guna pemeriksaan kasus. Keempat, bersama-sama dg instansi terkait dilakukan pendalaman pemeriksaan kpd para pekerja asing yang melanggar. Kelima, melakukan penegakan hukum sesuai ketentuan yang ada.
Perlu ditambahkan bahwa warga negara asing boleh bekerja di Indonesia sepanjang memenuhi syarat, baik terkait izin tinggal dr Imigrasi, izin kerja, syarat kompetensi, jabatan yang diduduki dan lain-lain termasuk membayar levy (retribusi) melalui bank dan langsung ke kas negara.
Selama orang asing bekerja di Indonesia mengantongi izin dan di lapangan bekerja sesuai dg izin tinggal maupun izin kerja yang diterbitkan alias memenuhi semua ketentuan yang ada, maka tidak ada masalah. Tetapi jika melakukan pelanggaran ya harus ditindak sesuai ketentuan yang ada, termasuk pencabutan IMTA dan memudikkan pekerja asing yang melanggar ke kampung asalnya. (rilis)
0 comments:
Post a Comment