Adu Kepemimpinan: Bobby Nasution di Sumut vs Lawrence Wong di Singapura

MEDAN – SINGAPURA, Dua pemimpin muda di kawasan Asia Tenggara tengah menjadi sorotan. Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong sama-sama menghadapi tantangan besar dalam membawa daerah/negara mereka menuju kemajuan ekonomi yang berkelanjutan. Menariknya, meski Singapura adalah negara maju, dari sisi populasi, Sumatera Utara justru lebih besar.

Berdasarkan data 2024, populasi Sumatera Utara mencapai 15 juta jiwa, sedangkan Singapura hanya 5,6 juta jiwa. Ini berarti Bobby Nasution menanggung beban kepemimpinan dalam melayani tiga kali lebih banyak penduduk dibandingkan Lawrence Wong. Namun, dari segi pendapatan per kapita, Singapura jauh di atas, dengan rata-rata USD 70.000 per tahun, sementara Sumut masih di bawah USD 4.000.

Perbedaan besar ini membuat tantangan Bobby Nasution jauh lebih kompleks. Ia harus mengelola provinsi yang memiliki beragam etnis, agama, dan tingkat pembangunan yang belum merata, terutama antara Medan dan wilayah pinggiran. Sementara itu, Lawrence Wong memimpin negara kecil dengan infrastruktur yang sangat maju dan sistem birokrasi yang efisien.

Dari sisi gaya kepemimpinan, Bobby dikenal sebagai pemimpin yang aktif turun ke lapangan dan dekat dengan masyarakat. Ia meneruskan gaya kepemimpinan ayah mertuanya, Presiden Jokowi, dengan pendekatan blusukan dan komunikasi langsung. Lawrence Wong lebih teknokratik, mengedepankan data, efisiensi, dan konsensus dalam mengambil keputusan.

Salah satu pembeda besar adalah dalam hal pengelolaan perusahaan daerah. Sumut memiliki sejumlah BUMD seperti Bank Sumut dan PT Pembangunan Sumatera Utara, namun kontribusinya terhadap pendapatan daerah masih minim. Di sisi lain, Singapura memiliki Temasek Holdings, perusahaan investasi negara yang mengelola aset senilai lebih dari USD 300 miliar dan berinvestasi global.

Temasek menjadi pilar kekuatan ekonomi Singapura, menghasilkan dividen besar untuk negara dan membuka banyak lapangan kerja. Sementara itu, BUMD Sumut kerap menghadapi tantangan berupa manajemen lemah, intervensi politik, dan keterbatasan modal. Transformasi BUMD menjadi kunci jika Bobby ingin membawa Sumut mendekati standar ekonomi Singapura.

Kedekatan geografis Sumut dan Singapura—sama-sama berada di jalur strategis Selat Malaka—seharusnya menjadi peluang emas. Bobby Nasution bisa mendorong pengembangan Pelabuhan Kuala Tanjung menjadi hub logistik internasional yang kompetitif, bersaing atau bahkan bersinergi dengan pelabuhan-pelabuhan besar di Singapura.

Untuk bisa menyamai daya saing ekonomi Singapura, Bobby harus mendorong industrialisasi di Sumut, khususnya di sektor hilirisasi kelapa sawit, karet, dan sumber daya alam lainnya. Selain itu, peningkatan kualitas pendidikan dan tenaga kerja menjadi krusial agar Sumut mampu menarik investasi asing sebagaimana Singapura.

Bobby juga perlu membangun ekosistem keuangan dan investasi yang kuat di Sumut. Salah satunya dengan memperkuat Bank Sumut agar bisa menjadi bank pembangunan daerah yang benar-benar mendukung UMKM dan industri strategis. Reformasi manajemen BUMD secara menyeluruh menjadi agenda mendesak.

Perlu dicatat, Singapura sukses karena pemerintahannya bersih dari korupsi dan birokrasi lamban. Ini menjadi tantangan besar Bobby di Sumut, yang kerap diterpa isu korupsi dan lemahnya pelayanan publik. Reformasi tata kelola menjadi syarat mutlak agar Sumut bisa bersaing di level regional.

Selain itu, Bobby harus menjadikan Medan sebagai pusat ekonomi dan digitalisasi. Pengembangan kota cerdas (smart city), infrastruktur transportasi, dan konektivitas digital akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan meniru model pengembangan Singapura sebagai kota global.

Lawrence Wong unggul dalam membuat kebijakan berbasis riset dan data. Bobby bisa mengikuti jejak tersebut dengan memperkuat lembaga riset dan perencanaan pembangunan daerah, serta melibatkan kampus dan ahli dalam perumusan kebijakan strategis.

Di sisi diplomasi ekonomi, Singapura aktif menjalin kemitraan dagang dengan berbagai negara dan menjadi anggota kunci dalam organisasi internasional. Bobby dapat memperkuat kerja sama lintas batas, khususnya dalam perdagangan dan investasi, dengan Singapura, Malaysia, dan negara ASEAN lainnya.

Untuk mencapai level ekonomi Singapura, Bobby perlu mendorong zona ekonomi khusus (KEK) di wilayah Sumut, seperti Sei Mangkei dan Kuala Tanjung, agar benar-benar berjalan maksimal dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi daerah.

Selain itu, Bobby harus menjaga stabilitas sosial dan keamanan di Sumut, yang dikenal heterogen. Tanpa stabilitas, investor akan ragu menanamkan modal di provinsi ini. Singapura sukses mempertahankan stabilitas sebagai prasyarat pembangunan ekonomi.

Akhirnya, dari sisi komunikasi publik, Bobby harus lebih transparan dan terbuka dalam kebijakan, mengikuti model Singapura yang menempatkan akuntabilitas tinggi pada pejabat publik. Kepercayaan rakyat menjadi fondasi utama dalam pembangunan jangka panjang.

Jika semua itu dilakukan, Sumut punya peluang besar menjadi pesaing regional Singapura, setidaknya dalam perdagangan dan industri berbasis SDA. Apalagi, Sumut memiliki kekayaan alam dan potensi demografis yang lebih besar.

Tantangan memang besar, namun Bobby Nasution bisa mencatatkan sejarah baru sebagai gubernur yang membawa Sumut sejajar dengan pusat-pusat ekonomi dunia. Untuk itu, ia harus berani mengambil langkah berani, visioner, dan bebas dari kepentingan politik sempit.

Dalam lima tahun ke depan, publik akan melihat: apakah Bobby Nasution hanya pemimpin populer, atau pemimpin yang benar-benar transformasional, seperti Lee Kuan Yew di masa awal Singapura. Beban berat, namun peluang besar juga menanti.

Dibuat oleh AI

Share on Google Plus

About Admin

Berita Dekho (www.beritadekho.com) merupakan media nasional yang pada awalnya didirikan untuk mempromosikan potensi alumni Indonesia yang pernah kuliah dan menimba ilmu di India dan negara-negara Asia Selatan. Lihat info selanjutnya di sini

0 comments:

Post a Comment

loading...