"Di Luar Isu Perang Dingin Arab" adalah buku yang menceritakan Perang Saudara Yaman (1962–68) di garis depan sejarah Timur Tengah modern, dalam catatan komprehensif yang menampilkan arsip multibahasa dan multinasional serta sejarah lisan.
Selama enam tahun konflik besar Yaman duduk di persimpangan konflik regional dan internasional ketika puluhan negara, organisasi internasional, dan individu campur tangan dalam perang saudara lokal Arab Selatan.
Yaman adalah sebuah karya untuk era baru penjaga perdamaian PBB dan Palang Merah, aktivitas klandestin, kontra-pemberontakan Mesir, dan salah satu penggunaan gas beracun skala besar pertama sejak Perang Dunia I.
Peristiwa di Yaman tidak didominasi oleh satu kekuatan, juga apakah mereka satu-satunya produk dari persaingan Perang Dingin Arab, AS vs Soviet atau Saudi vs Mesir.
Lebih tepatnya, selama tahun 1960-an Yaman berubah menjadi arena konflik global yang kekacauan berikutnya meruntuhkan tembok kekuasaan dan isolasi agama selama berabad-abad dan meletakkan dasar bagi setengah abad berikutnya dari sejarah Yaman.
Berakhirnya Perang Saudara Yaman menandai berakhirnya ekspansi kolonial nasionalis Arab Presiden Mesir Nasser dan Kerajaan Inggris di Timur Tengah, dua kekuatan regional yang paling dominan.
Warisan kekalahan suku utara pada akhirnya dan pembentukan republik yang lemah dan terdesentralisasi yang dikompromikan adalah inti dari konflik modern di Arab Selatan.
Buku ini juga menceritakan bagaimana Israel dan Inggris memberikan dukung penuh berupa senjata dan lainnya untuk mengembalikan kekuasaan Raja Syiah Zaidiyah saat itu yang dikudeta oleh kaum republik dengan dukungan Mesir.
Meski gagal membalikkan situasi, kelompok royalis dinilai mampu membuat sibuk pasukan Mesir di Yaman sehingga membuat Israel berhasil mengalahkan Mesir di perang perbatasan saat itu.
Fakta ini pula yang membuat rakyat Yaman sekarang ini tidak terlalu percaya dengan slogan kelompok Houthi yang anti-Israel karena Houthi merupakan titisan sejarah pendukung royalis pada tahun 60-an.
Namun jika dilihat itu sebagai slogan yang menjadi agenda Iran, maka hal itu dapat dengan mudah difahami.
Apalagi jika itu dihubungkan dengan pengakuan beberapa tokoh Israel mengenai keberadaan mereka di Pulau Socotra, Yaman.
Tidak diketahui apakah eksistensi 'pangkalan militer' Israel di Socotra hanya isu untuk perang urat syaraf atau tidak, namun beberapa tokoh di Provinsi Al Mahra serius membawanya sebagai topik politik lokal mengingat Socotra dulunya merupakan bagian dari Kesultanan Al Mahra di Konfederasi Hadramaut.
0 comments:
Post a Comment