Berbeda dengan Kuwait dan Qatar yang membolehkan warganya mempunyai partai politik. Di Bahrain, partai politik juga dilarang namun dibolehkan mendirikan ormas yang kadang mempunyai perwakilan di parlemen.
Alasan Uni Emirat Arab belum mempunyai partai politik adalah karena penduduk aslinya atau warga negaranya memang masih sedikit.
Apalagi beberapa keemiran di UAE sebenarnya adalah syeikh atau tuan tanah yang dianggap sebagai pemilik wilayahnya atau dikenal juga dengan istilah monarki absolut.
Walau begitu, beberapa keemiran seperti Dubai sudah mempunyai lembaga yang berfungsi sebagai parlemen dan dewan legislatif. Namun anggotanya dipilih oleh Emir.
Tidak ada juga dorongan dari publik untuk mendirikan partai politik karena semua kebutuhan rakyatnya relatif sudah terpenuhi. Jika jumlah warganegaranya semakin besar, kemungkinan tren ini akan berubah.
Di Yaman, sistem keemiran ini juga masih diterapkan namun dalam level kesukuan/kabilah atau desa.
Namun usai hengkangnya Inggris dari Yaman Utara, Uni Emirat Arabia Selatan dan Hadramaut berubah menjadi sistem Yaman Selatan yang mengadopsi sistem kepartaian.
Para emir di kedua negara ini tidak lagi mempunyai kekuasaan politik namun berubah menjadi pemimpin adat atau kabilah.
Di satu sisi, kekuatan politik rakyatnya menguat sementara kekuatan politik para emir melemah.
Ternyata revolusi tahun 60-an itu tidak membuat Yaman menjadi maju dan justru terpuruk pada pertikaian sehingga membuat banyak pihak menilai bahwa Yaman baik utara maupun selatan juga belum bis lepas sepenuhnya dari sistem keemiran.
Politik liberal untuk memberikan siapa saja kesempatan mendirikan partai politik menjadi salah satu sumbu memantik anarki dan kegaduhan sosial.
About peace
0 comments:
Post a Comment