Daerah-daerah yang dikendalikan oleh rezim Suriah telah menyaksikan likuidasi 50 perusahaan dalam tiga bulan terakhir, lapor harian Al-Watan yang bersekutu dengan pemerintah.
Jumlah tersebut setara dengan 75% dari total perusahaan yang membubarkan diri sejak awal tahun 2022 yang berjumlah 79 perusahaan, menurut direktur perusahaan di Kementerian Perdagangan Dalam Negeri dan Perlindungan Konsumen rezim, Zain Safi.
Al-Watan juga mengatakan bahwa pemilik perusahaan yang dibubarkan menolak berkomentar kepada media tentang alasan bisnis mereka ditutup.
Hassan Hazouri, seorang dosen di Fakultas Ekonomi di Universitas Aleppo, percaya bahwa kebijakan rezim telah mengubah ekonomi Suriah dari ekonomi produktif menjadi ekonomi jasa.
Hal itu dilakukan dengan mendorong sektor-sektor seperti pariwisata dan perdagangan, dengan mengorbankan sektor-sektor produksi riil seperti pertanian dan industri.
Hazouri lebih lanjut mengkritik kebijakan Damaskus yang dianggap buruk dalam hal menyelesaikan masalah ekonomi. Kebijakan ini telah merusak posisi ekonomi Suriah lebih jauh, yang mendorong eksodus bisnis lokal.
Selain itu, banyak pemilik bisnis di Suriah terpaksa menutup operasi mereka secara permanen atau sementara. Mereka yang tidak menjual atau melikuidasi bisnis mereka, meninggalkan perusahaan mereka bekerja pada kapasitas minimum.
September lalu, pengusaha Suriah Ayman Bergenjiki, pemilik Indomie Syria, mengumumkan bahwa pabrik yang memproduksi mi instan telah berhenti beroperasi secara permanen di Suriah. Dia kemudian membalikkan pernyataan ini dengan menunjukkan bahwa pihaknya tetap membuka peluang melanjutkan operasional perusahaan.
Pekan lalu, media lokal juga melaporkan penutupan sekitar 25% bengkel dan fasilitas produksi susu dan keju. Penutupan terjadi karena nilai tukar dolar melebihi ambang SYP 5.000.
Kenaikan nilai tukar dolar di Suriah telah menghasilkan gejolak pasar dan kenaikan biaya produksi.
0 comments:
Post a Comment