BeritaDEKHO - Ambarish Mitra lari dari rumah pada usia 15 tahun, kemudian tinggal di kawasan kumuh New Delhi. Dua tahun kemudian, dia telah memiliki 55 orang yang bekerja untuknya.
Sekarang, hampir 20 tahun kemudian, dia menjadi pendiri Blippar, bisnis aplikasi telepon seluler bernilai USD1,5 miliar (Rp19,6 triliun). Dengan perjalanan panjang seperti itu, tidak mengejutkan jika Ambarish menyebut hidupnya sebagai satu petualangan. Diluncurkan pada 2011, Blippar merupakan aplikasi augmented reality (realitas tambahan). Menggunakan kamera di telepon seluler, aplikasi itu menambahkan animasi atau grafik ke dunia nyata sekitar Anda.
Misalnya, fokus pada edisi terbatas kaleng Coca-Cola, maka kaleng itu akan menjadi mesin pemutar lagu yang memungkinkan Anda memainkan musik. Coca-Cola merupakan perusahaan yang telah bekerja sama dengan Blippar. Atau, arahkan kamera ke suatu benda seperti apel, dan gambar apel akan muncul di layar ditambahi dengan penjelasan rinci tentang sejarahnya. Aplikasi itu juga dapat mengaitkan benda-benda dengan informasi tambahan yang lebih rinci, seperti sari apel, atau bagaimana cara menanam di kebun. Dengan semakin populernya permainan Pokemon Go, maka teknologi augmented reality semakin dikenal luas.
Blippar yang diluncurkan lima tahun lalu pun semakin digemari banyak orang. Perusahaan itu mengklaim, aplikasi itu telah diunduh lebih dari 65 juta pengguna di 170 negara sejak 2011. Dibesarkan di keluarga kelas menengah di kota tambang Dhanbad, di India timur, negara bagian Jharkhand, Ambarish memutuskan pergi dari rumah setelah dia mulai gagal di sekolah. Dia tidak senang karena ayahnya ingin dia mempelajari engineering , padahal dia ingin bekerja di bidang komputer. Suatu hari, setelah merencanakan beberapa pekan, dia menulis surat pada orangtuanya menjelaskan kepergiannya. Dia mengemas tas dan pergi dari rumah.
”Saya menulis Saya pergi ke Mumbai, yang kadang orang selalu mengatakan di perfilman. Itu sangat naif,” ungkap Ambarish yang sekarang berusia 37 tahun. Bukannya ke Mumbai, Ambarish pergi ke New Delhi dan tinggal di kawasan kumuh di bagian barat daya ibu kota India tersebut. Rumah yang dia tinggali adalah bangunan gudang yang terbuat dari tanah liat. Rumah itu tak memiliki sanitasi dan dia tidur di lantai bersama enam orang lainnya. Saat dia bekerja di satu atau dua pekerjaan, menjual majalah dan bekerja di restoran, dia membaca surat kabar bekas dan melihat iklan menawarkan USD10.000 untuk pemenang ide bisnis. Dia yang saat itu berumur 16 tahun pun memiliki ide menyediakan internet gratis untuk perempuan berpendapatan rendah.
Dia ternyata menang. Ambarish terinspirasi kesenjangan yang dia rasakan antara perempuan kaya di keluarganya dan budaya dalam masyarakat India. Jadi dengan uang hasil menang lomba itu, dia meluncurkan Women Infoline. Puncaknya, Ambarish memiliki 125 orang yang bekerja untuknya. Perusahaan yang diluncurkan pada tahun 2000 itu ternyata tidak menghasilkan untung. Ambarish kemudian pindah ke Inggris. Dia berharap dapat memulai perusahaan teknologi di Inggris, tapi banyak kegagalan yang dia alami.
”Selama hampir sembilan tahun, dari 2001 hingga 2010, semua yang saya lakukan menjadi bencana. Semua ide sangat bagus tapi saya pun sampai tak memiliki uang sedikit pun,” paparnya.
Dia pun frustrasi dan mulai jadi peminum. Lantas di satu siang di pub di Surrye, selatan London, semua berubah. ”Saya berada di pub lokal. Minum dengan Omar Tayep, salah satu pendiri Blippar. Uang terakhir untuk membeli minuman adalah 15 pound, saya letakkan uang di bar dan bercanda, bayangkan jika Ratu Elizabeth muncul dari uang kertas?” paparnya.
Omar lantas membuat prototipe aplikasi tersebut. Maka, lahirlah Blippar yang kini memiliki kantor di 12 lokasi di penjuru dunia, termasuk London, New York, San Francisco, Delhi, dan Singapura. (sumber)
Sekarang, hampir 20 tahun kemudian, dia menjadi pendiri Blippar, bisnis aplikasi telepon seluler bernilai USD1,5 miliar (Rp19,6 triliun). Dengan perjalanan panjang seperti itu, tidak mengejutkan jika Ambarish menyebut hidupnya sebagai satu petualangan. Diluncurkan pada 2011, Blippar merupakan aplikasi augmented reality (realitas tambahan). Menggunakan kamera di telepon seluler, aplikasi itu menambahkan animasi atau grafik ke dunia nyata sekitar Anda.
Misalnya, fokus pada edisi terbatas kaleng Coca-Cola, maka kaleng itu akan menjadi mesin pemutar lagu yang memungkinkan Anda memainkan musik. Coca-Cola merupakan perusahaan yang telah bekerja sama dengan Blippar. Atau, arahkan kamera ke suatu benda seperti apel, dan gambar apel akan muncul di layar ditambahi dengan penjelasan rinci tentang sejarahnya. Aplikasi itu juga dapat mengaitkan benda-benda dengan informasi tambahan yang lebih rinci, seperti sari apel, atau bagaimana cara menanam di kebun. Dengan semakin populernya permainan Pokemon Go, maka teknologi augmented reality semakin dikenal luas.
Blippar yang diluncurkan lima tahun lalu pun semakin digemari banyak orang. Perusahaan itu mengklaim, aplikasi itu telah diunduh lebih dari 65 juta pengguna di 170 negara sejak 2011. Dibesarkan di keluarga kelas menengah di kota tambang Dhanbad, di India timur, negara bagian Jharkhand, Ambarish memutuskan pergi dari rumah setelah dia mulai gagal di sekolah. Dia tidak senang karena ayahnya ingin dia mempelajari engineering , padahal dia ingin bekerja di bidang komputer. Suatu hari, setelah merencanakan beberapa pekan, dia menulis surat pada orangtuanya menjelaskan kepergiannya. Dia mengemas tas dan pergi dari rumah.
”Saya menulis Saya pergi ke Mumbai, yang kadang orang selalu mengatakan di perfilman. Itu sangat naif,” ungkap Ambarish yang sekarang berusia 37 tahun. Bukannya ke Mumbai, Ambarish pergi ke New Delhi dan tinggal di kawasan kumuh di bagian barat daya ibu kota India tersebut. Rumah yang dia tinggali adalah bangunan gudang yang terbuat dari tanah liat. Rumah itu tak memiliki sanitasi dan dia tidur di lantai bersama enam orang lainnya. Saat dia bekerja di satu atau dua pekerjaan, menjual majalah dan bekerja di restoran, dia membaca surat kabar bekas dan melihat iklan menawarkan USD10.000 untuk pemenang ide bisnis. Dia yang saat itu berumur 16 tahun pun memiliki ide menyediakan internet gratis untuk perempuan berpendapatan rendah.
Dia ternyata menang. Ambarish terinspirasi kesenjangan yang dia rasakan antara perempuan kaya di keluarganya dan budaya dalam masyarakat India. Jadi dengan uang hasil menang lomba itu, dia meluncurkan Women Infoline. Puncaknya, Ambarish memiliki 125 orang yang bekerja untuknya. Perusahaan yang diluncurkan pada tahun 2000 itu ternyata tidak menghasilkan untung. Ambarish kemudian pindah ke Inggris. Dia berharap dapat memulai perusahaan teknologi di Inggris, tapi banyak kegagalan yang dia alami.
”Selama hampir sembilan tahun, dari 2001 hingga 2010, semua yang saya lakukan menjadi bencana. Semua ide sangat bagus tapi saya pun sampai tak memiliki uang sedikit pun,” paparnya.
Dia pun frustrasi dan mulai jadi peminum. Lantas di satu siang di pub di Surrye, selatan London, semua berubah. ”Saya berada di pub lokal. Minum dengan Omar Tayep, salah satu pendiri Blippar. Uang terakhir untuk membeli minuman adalah 15 pound, saya letakkan uang di bar dan bercanda, bayangkan jika Ratu Elizabeth muncul dari uang kertas?” paparnya.
Omar lantas membuat prototipe aplikasi tersebut. Maka, lahirlah Blippar yang kini memiliki kantor di 12 lokasi di penjuru dunia, termasuk London, New York, San Francisco, Delhi, dan Singapura. (sumber)