Asal-Usul Nama Tidore: Jejak Diplomasi dari Jazirah Arab

3 min read
Tidore, sebuah pulau yang terletak di gugusan Kepulauan Maluku, menyimpan kisah panjang dan menarik yang tidak hanya berkaitan dengan topografi alamnya, tetapi juga sejarah pertemuan antarbudaya yang membentuk identitasnya hingga kini. Sebelum dikenal dengan nama Tidore, pulau ini bernama Kie Duko, yang berarti “pulau yang vulkanik.” Penamaan ini merujuk langsung pada keberadaan Gunung Marijang, gunung tertinggi di Maluku yang dahulu aktif dan menjadi ciri khas pulau ini.

Namun, sejarah nama Tidore tak semata bersumber dari kondisi geografis. Ia justru lahir dari peristiwa diplomasi kuno yang terjadi sekitar tahun 846 Masehi. Kala itu, wilayah Tidore tengah dilanda konflik berkepanjangan antar-momole, sebutan bagi para kepala suku yang masing-masing didukung oleh komunitasnya. Perebutan wilayah adat seringkali berujung pada pertumpahan darah dan upaya damai selalu menemui jalan buntu.

Dalam situasi genting itu, datanglah sebuah rombongan dari jauh. Mereka adalah utusan dari Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, yang dipimpin oleh seorang ulama bernama Syech Jacob (Syeikh Yakub), bagian dari rombongan Ibn Chardazabah, utusan Khalifah al-Mutawakkil. Kedatangan mereka ke Tidore bukan tanpa sebab, namun diyakini sebagai bagian dari misi dagang dan dakwah yang membawa pesan perdamaian ke berbagai penjuru timur Nusantara.

Syech Jacob melihat pertikaian yang terjadi di antara para momole dan mencoba mencari jalan tengah. Ia mengusulkan pertemuan damai yang dikenal sebagai Togorebo, yang diadakan di sebuah batu besar di kaki Gunung Marijang. Dalam kesepakatan itu, siapa pun momole yang pertama kali tiba di tempat pertemuan akan dianggap sebagai pemenang dan berhak memimpin rapat.

Saat hari pertemuan tiba, para momole dari berbagai penjuru pulau pun bergegas menuju lokasi. Masing-masing meneriakkan kalimat "To re ado", yang dalam bahasa Tidore berarti “aku telah sampai.” Teriakan ini menjadi simbol semangat untuk membuktikan siapa yang datang lebih awal dan berhak menjadi pemimpin dalam diskusi.

Namun, kenyataan berkata lain. Ternyata, para momole tiba hampir bersamaan di lokasi pertemuan. Tidak ada satu pun yang dapat diklaim sebagai pemenang mutlak, sehingga perdebatan kembali terjadi. Dalam kondisi kebingungan itu, tiba-tiba Syech Jacob menyusul hadir dan dalam dialek Arab Irak yang kental ia berkata, “Anta thadore,” yang berarti “engkau telah datang.”

Peristiwa ini menjadi titik balik. Karena tidak ada momole yang dapat mengklaim kemenangan, dan karena Syech Jacob menunjukkan kebijaksanaan dan kemampuan mendamaikan, para momole sepakat untuk menunjuknya sebagai pemimpin pertemuan. Sebuah keputusan yang akhirnya diterima secara luas oleh seluruh pihak.

Dari peristiwa itu, lahirlah sebuah istilah baru yang menggabungkan dua ungkapan: “To re ado” dari bahasa lokal dan “Anta thadore” dari bahasa Arab Irak. Keduanya menyatu menjadi “Tidore,” sebagai simbol pertemuan, kedatangan, dan rekonsiliasi antara dua budaya yang berbeda namun saling melengkapi.

Sejak saat itulah, nama Tidore mulai menggantikan Kie Duko sebagai sebutan untuk pulau tersebut. Tidak hanya menjadi nama geografis, Tidore kemudian berkembang menjadi sebuah kesultanan besar yang memiliki peran penting dalam sejarah kepulauan Indonesia bagian timur, terutama dalam jalur rempah dunia.

Perubahan nama ini menunjukkan bahwa interaksi budaya di masa lalu tak hanya berhenti pada perdagangan atau penyebaran agama, namun juga merambah pada transformasi identitas lokal. Nama Tidore menjadi warisan hidup dari momen diplomasi dan kesepakatan damai yang lahir lebih dari seribu tahun silam.

Gunung Marijang, yang kini tak lagi aktif, seakan menjadi saksi bisu dari seluruh peristiwa bersejarah tersebut. Ia tetap berdiri kokoh, mengingatkan masyarakat Tidore bahwa damai dan persatuan pernah lahir dari kaki gunungnya.

Kisah Syech Jacob dan pertemuan Togorebo menjadi bagian penting dari memori kolektif masyarakat Tidore. Cerita ini terus hidup dalam lisan-lisan tua, upacara adat, dan bahkan dalam identitas mereka sebagai bagian dari kerajaan yang besar dan berdaulat.

Hari ini, nama Tidore bukan hanya dikenal sebagai nama sebuah pulau, tetapi juga sebagai cerminan sejarah panjang yang melibatkan berbagai bangsa dan budaya. Ia adalah simbol dari hasil pertemuan, bukan pertikaian.

Di tengah modernisasi dan perubahan zaman, kisah asal-usul nama Tidore menjadi pengingat bahwa dialog dan musyawarah adalah kunci mengatasi konflik. Semangat itu patut dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Dengan akar sejarah yang begitu dalam, Tidore tidak hanya penting dalam peta geografis Indonesia, tetapi juga dalam peta budaya dan peradaban bangsa. Sebuah pulau kecil yang namanya menyimpan cerita besar tentang perdamaian.


Post a Comment