Misteri Waqwaq: Jejak Legenda Arab Hingga Sumatera Utara?

4 min read
Sebuah teori kontroversial mencuat, menghubungkan suku Pakpak di tanah Batak dengan kisah misterius tentang suku Waqwaq yang termaktub dalam legenda para pelaut Arab zaman dahulu. Legenda itu mengisahkan tentang sebuah pohon ajaib, yang digambarkan begitu berharga hingga melampaui imajinasi tentang "pohon uang", bahkan secara hiperbolis diceritakan dapat menghasilkan buah berupa manusia.

Kisah tentang manusia yang memiliki hubungan erat dengan pohon ternyata bukan hanya isapan jempol belaka bagi masyarakat Pakpak. Mereka memiliki tradisi dan kepercayaan yang mungkin menyimpan jejak-jejak narasi kuno tersebut. Selain itu, tanah Pakpak juga dikenal kaya akan pohon kemenyan dan kamper, komoditas yang sangat bernilai pada masa lampau, menambah dimensi ekonomi pada kemungkinan hubungan ini.
Secara linguistik, kata 'pakpak' dalam bahasa suku Pakpak sendiri memiliki arti 'tinggi'. Interpretasi ini mengarah pada kemungkinan bahwa penamaan suku ini berkaitan erat dengan lanskap geografis tempat mereka bermukim, yaitu dataran tinggi atau pegunungan. Dengan demikian, sebutan 'orang Pakpak' bisa jadi merujuk pada masyarakat yang mendiami wilayah ketinggian tersebut.

Namun, penelusuran asal-usul kata 'pakpak' tidak berhenti pada interpretasi geografis semata. Sebuah tafsir etimologis yang menarik mengaitkan kata 'pakpak' dengan 'wakwak', sebuah sebutan yang konon digunakan oleh penduduk negeri Abunawas (Irak modern) pada zaman dahulu kala untuk merujuk pada wilayah yang kini dikenal sebagai tanah Pakpak.

Menariknya, jejak nama 'Pakpak' tidak hanya terbatas di Sumatera Utara. Kita juga menemukan nama 'Fakfak' di Papua, sebuah toponimi yang memiliki kemiripan fonetik yang mencolok. Selain itu, di Filipina, tercatat seorang pejuang bernama Datu Amai Pakpak atau Datu Ama ni Pakpak yang gigih melawan penjajahan Spanyol pada akhir abad ke-19.

Dalam catatan sejarah maritim, khususnya dalam Kitab al-Masalik wa 'l-Mamalik (Kitab Jalan dan Negara) karya Ibnu Khurradadhbih, sebuah gambaran tentang luasnya Samudra Hindia disebutkan. Ia memperkirakan bahwa rentang laut dari Qulzum (ujung Laut Merah) hingga Waqwaq mencapai 4500 farsakhs. Lebih lanjut, ia mencatat jarak dari Qulzum ke pelabuhan Farama di Mediterania adalah 25 farsakhs. Berdasarkan perhitungan derajat meridian, jarak 4500 farsakhs menuju Waqwaq setara dengan 180 derajat, menempatkan Waqwaq di separuh dunia jika diukur dari Qulzum.

Kendati deskripsinya terkesan fantastis dan lokasinya yang jauh ke timur menimbulkan keraguan akan keberadaannya secara geografis, Ibnu Khurradadhbih bersikeras bahwa Waqwaq adalah sebuah tempat nyata. Ia bahkan menyebutkannya beberapa kali dalam catatannya, menggambarkan "China Timur sebagai tanah-tanah Waqwaq, yang sangat kaya akan emas yang digunakan penduduknya untuk membuat kalung rantai bagi anjing dan monyet mereka.

Mereka juga membuat jubah tenun dari emas, dan kayu hitam berkualitas tinggi banyak ditemukan di sana." Ia juga menambahkan bahwa "emas dan kayu hitam diekspor dari Waqwaq."

Para sarjana pun mencoba mengidentifikasi lokasi misterius Waqwaq ini. De Goeje sempat berteori bahwa Waqwaq adalah Jepang, meskipun tidak ditemukan bukti sejarah serangan laut Jepang ke Afrika Timur pada abad ke-10.

Sarjana Perancis Gabriel Ferrand kemudian mengemukakan gagasan bahwa Waqwaq mungkin merujuk pada Madagaskar, atau bahkan Sumatera.

Spekulasi ini didasarkan pada catatan sejarah tentang kemungkinan serangan dari kepulauan Indonesia ke Madagaskar dan pantai Afrika Selatan, atau adanya akulturasi bahasa Austronesia di Madagaskar.


Al-Biruni, dalam karyanya Kitab al-Hind (Buku tentang India) yang ditulis sekitar tahun 1000 Masehi, yang sebagian besar bersumber dari catatan berbahasa Sansekerta, menyebutkan sebuah negeri dengan penduduk yang lahir dari pepohonan dan bergelantungan di dahan-dahan dengan pusar mereka. Dari deskripsi ini, muncul kemungkinan bahwa legenda pohon Waqwaq berakar dari sumber-sumber Sansekerta, dan kisah-kisah Arab tentang Waqwaq adalah interpretasi yang kabur pada masa ketika kepulauan Indonesia masih berada di bawah pengaruh budaya Hindu-Buddha.

Kisah tentang Pohon Waqwaq kemudian menyebar ke Barat, seiring dengan masuknya cerita-cerita dari Timur. Kisah ini muncul dalam salah satu manuskrip perjalanan Friar Odoric pada abad ke-14 dan dalam salah satu roman Prancis tentang Alexander Agung pada Abad Pertengahan. Jejak terakhir kisah Pohon Waqwaq tercatat pada tahun 1685, ketika misteri Samudra Hindia mulai terungkap dalam catatan bangsa Eropa. Kisah ini ditemukan dalam Safinat Sulayman (Kapal Sulaiman), catatan perjalanan seorang Persia ke Siam (Thailand) yang ditulis oleh seorang penulis yang mendampingi misi tersebut. Ia menceritakan bahwa ia mendengar kisah aneh ini dari seorang kapten Belanda.

Sang kapten Belanda bercerita tentang perjalanannya ke Cina, di mana mereka berlabuh di sebuah teluk di sebuah pulau untuk menghindari badai besar. Di pulau itu, mereka menemukan penduduk dengan penampilan yang ganjil, hampir menyerupai makhluk hidup. Kaki mereka pendek, tubuh mereka telanjang, dan mereka memiliki rambut yang sangat panjang. Pada malam hari, baik pria maupun wanita, akan memanjat hingga puncak pohon-pohon di hutan, membawa anak-anak mereka di lengan. Sesampainya di pohon, mereka akan mengikatkan rambut panjang mereka pada dahan dan bergantungan di sana sepanjang malam.

Meskipun berbagai manuskrip mencatat tentang keberadaan Waqwaq, tidak satu pun yang dapat secara pasti menunjukkan lokasi geografisnya. Kemiripan pengucapannya dengan 'Fakfak' sempat memunculkan spekulasi bahwa Waqwaq mungkin merujuk pada wilayah Fakfak di Papua Barat. Namun, terlepas dari bentuk dan lokasinya yang sebenarnya, jelas bahwa konsep Waqwaq memiliki akar yang dalam dalam teks Hindu Sansekerta, disebutkan pada abad kedelapan, diceritakan oleh seorang pelaut Arab kepada utusan Cina, diteruskan kepada seorang pendeta Prancis, dan akhirnya diceritakan kembali oleh seorang kapten laut Belanda kepada seorang utusan Persia untuk Raja Siam. Kisah ini terus bergulir, meninggalkan jejak misterius yang mungkin terhubung jauh hingga ke tanah Pakpak di Sumatera Utara.

Post a Comment