Jejak Ulama Mandailing Keturunan Nabi di Era 1500-an

4 min read
Jauh di pelosok barat Mandailing Natal, Sumatera Utara, sebuah makam tua berdiri sunyi diapit dua pohon besar. Makam ini bukan sembarang makam. Di sanalah Sayyid Muhammad Baqibillah al-‘Alawi, seorang ulama besar yang juga zurriyat Rasulullah SAW, bersemayam. Lokasinya yang tersembunyi di Desa Perdamaean Baru, Kecamatan Natal, menjadi saksi bisu awal mula dakwah Islam di tanah Mandailing lima abad silam.

Sayyid Baqibillah bukan hanya seorang dai yang menyebarkan Islam di Nusantara bagian barat, namun juga penyambung nasab mulia dari jalur putri Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra. Ia lahir di Makkah pada tahun 1462 M dan wafat di Sumatera pada tahun 1539 M, menetap dan berdakwah di tanah Mandailing hingga akhir hayatnya.

Perjalanan menuju makam Sayyid Baqibillah tidaklah mudah. Dari jalan raya Batahan-Natal, peziarah harus menempuh jalur tanah sejauh dua kilometer. Ketika musim hujan, medan tersebut berubah menjadi jalur penuh tantangan, licin dan berlubang, seakan menguji kesungguhan niat para pencari berkah.

Makam tersebut berada di tengah hutan, dekat dengan Teluk Mambang yang indah dan tenang. Di sekelilingnya, hanya pohon kelapa sawit dan deru ombak yang menemani. Meski terpencil, tempat ini justru memberi suasana hening dan khusyuk yang memperdalam zikir serta bacaan kalimat toyyibah para peziarah.


Silsilah Sayyid Baqibillah tercatat sangat panjang dan jelas, hingga mencapai 35 generasi ke atas sampai ke Nabi Muhammad SAW. Melalui jalur Imam Ja’far Shodiq, Imam Ali Zainal Abidin, hingga Sayyid Ahmad al-Muhajir, sosoknya menjadi bagian penting dari jaringan ulama Hadramaut yang menyebarkan Islam ke Asia Tenggara.

Kehadirannya di Mandailing Natal bukan hanya memperkenalkan syariat Islam, namun juga membawa adab dan keilmuan Islam klasik yang diwarisi dari pusat peradaban Islam di Timur Tengah. Ia dikenal sebagai sosok yang lembut dalam dakwah, kuat dalam ibadah, dan luas dalam ilmu.

Tak heran jika makamnya sering didatangi para peziarah dari berbagai wilayah, baik dari Mandailing sendiri, Sumatera Barat, bahkan dari Malaysia dan Singapura. Mereka datang bukan hanya untuk mendoakan, tapi juga mencari keberkahan dari seorang wali yang telah mengislamkan wilayah ini berabad-abad lalu.

Meski tidak banyak catatan tertulis tentang aktivitas dakwah Sayyid Baqibillah, keberadaan komunitas Muslim yang kuat dan pesantren-pesantren tua di sekitar wilayah itu menjadi bukti nyata jejak langkahnya. Dakwahnya yang damai dan menyatu dengan adat Mandailing menjadi strategi ampuh dalam menanamkan nilai-nilai Islam di hati masyarakat.


Ulama sekelas Sayyid Baqibillah membawa pengaruh besar dalam menciptakan harmoni antara Islam dan budaya lokal. Hal ini terlihat dari kearifan lokal Mandailing yang sarat dengan nilai-nilai Islam, seperti dalam upacara adat, sastra lisan, dan struktur kepemimpinan adat.

Ketika malam tiba, suara ombak Teluk Mambang dan desau angin yang menyusup di antara pohon besar di sekitar makam seakan menjadi dzikir alam. Mereka menyambut setiap tamu yang datang dengan hati tulus, mengingatkan bahwa Islam di tanah ini tumbuh dari jejak langkah para pewaris Nabi.

Banyak yang mengatakan bahwa menziarahi makam Sayyid Baqibillah membawa ketenangan batin. Sebagian bahkan merasakan perubahan positif dalam hidupnya. Bukan karena hal mistis, tapi karena kekuatan spiritual yang lahir dari ikatan batin antara peziarah dan seorang kekasih Allah yang telah lama wafat.

Sayyid Baqibillah wafat di Kampung Sumur, dan dimakamkan di tepi laut yang sepi. Meski jauh dari keramaian, makamnya kini menjadi pusat spiritual penting di Mandailing. Pemerintah setempat dan tokoh agama mulai menata lokasi ini sebagai destinasi wisata religi dengan tetap menjaga kesakralannya.

Ziarah ke makam ulama seperti Sayyid Baqibillah bukan sekadar tradisi, tapi bagian dari kontemplasi diri. Dalam keheningan, kita diajak merenung bahwa hidup ini fana, dan hanya amal baik yang akan menyertai kita menuju akhirat.


Para ulama keturunan Nabi memang membawa misi besar: menyambung cahaya kenabian dengan kasih sayang, ilmu, dan akhlak. Di Mandailing, Sayyid Baqibillah adalah cahaya pertama itu. Ia menanam Islam dalam hati masyarakat, bukan dengan pedang, melainkan dengan cinta dan ilmu.

Kini, jejaknya terus dikenang. Banyak keturunannya yang masih menetap di wilayah Sumatera dan menjadi bagian penting dari perkembangan dakwah Islam modern. Mereka melanjutkan tradisi ilmu, dakwah, dan akhlak yang telah diwariskan.

Umat Islam di Mandailing hendaknya menjadikan makam ini bukan sekadar situs sejarah, tetapi juga sebagai sumber inspirasi untuk memperkuat iman, ilmu, dan amal. Mendekatkan diri pada Allah melalui mengenang kekasih-Nya adalah ajaran yang telah ditanamkan sejak zaman Nabi.

Sayyid Baqibillah telah menunjukkan bahwa Islam bisa hadir dengan damai dan menghormati budaya. Kini, tugas kita meneruskan perjuangannya, menjaga agama dengan akhlak mulia dan ilmu yang bermanfaat.

Jika Anda tengah berada di Madina, sempatkanlah mengunjungi makam mulia ini. Jadikan perjalanan itu sebagai bentuk cinta kepada Rasulullah SAW dan para pewarisnya. Semoga ziarah ini menjadi penyambung berkah antara kita dan para shalihin yang telah lebih dahulu berpulang.

Dan seperti angin laut yang menyapa setiap tamu yang datang, semoga hidayah dan keberkahan terus berhembus dari Teluk Mambang—tempat seorang zurriyat Nabi menanamkan cahaya Islam yang tak pernah padam.

Post a Comment