Ketika Hadramuat, bukan Houthi, Jadi Titik Panas Baru di Yaman



Situasi keamanan di wilayah Hadhramaut, Yaman, kembali memanas seiring dengan pergerakan pasukan Dewan Transisi Selatan (STC) pada akhir Desember 2025. Kelompok yang didukung Uni Emirat Arab (UEA) itu dilaporkan memperluas pengaruh militernya di wilayah timur Yaman, termasuk daerah strategis yang kaya sumber daya alam. Perkembangan ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak yang menilai langkah tersebut mengancam keseimbangan politik dan keamanan lokal.

Kemajuan STC di Hadhramaut terjadi setelah serangkaian bentrokan dengan pasukan yang berafiliasi dengan pemerintah Yaman yang diakui internasional. Wilayah ini sejak lama dianggap sensitif karena posisi geografisnya, kedekatannya dengan perbatasan regional, serta perannya sebagai salah satu pusat energi terpenting di Yaman. Eskalasi terbaru memperlihatkan bahwa Hadhramaut kini menjadi titik krusial perebutan pengaruh di Yaman timur, bukan lagi Houthi.

Pemerintah Yaman melalui Dewan Kepemimpinan Presiden (PLC) segera menggelar pertemuan darurat Dewan Pertahanan untuk membahas situasi tersebut. Presiden PLC, Rashad al-Alimi, menegaskan bahwa setiap perubahan status keamanan di Hadhramaut harus berada di bawah otoritas negara. Ia menilai pergerakan STC berpotensi mengancam persatuan nasional serta memperburuk penderitaan warga sipil.

Di sisi lain, STC menolak tekanan politik tersebut dan justru mengonsolidasikan dukungan massa. Pada 28 Desember 2025, ribuan pendukung STC dilaporkan menggelar unjuk rasa di Kota Seiyun. Dalam aksi itu, seruan pembentukan entitas politik “Arab Selatan” kembali digaungkan, menegaskan kuatnya aspirasi separatis di wilayah selatan Yaman.

Demonstrasi tersebut dipandang sebagai upaya STC menampilkan legitimasi publik di tengah kritik yang meningkat. STC mengklaim bertindak demi menjaga keamanan wilayah selatan serta melindungi kepentingan ekonomi lokal, termasuk sektor energi yang selama ini menjadi tulang punggung Hadhramaut. Namun, klaim itu diperdebatkan oleh banyak kalangan lokal yang menilai langkah STC justru membuka babak konflik baru.

Media regional seperti Al Mahriah menilai unjuk rasa tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap tekanan politik eksternal. Dalam laporannya, media itu menyebut Hadhramaut kini berada di persimpangan antara agenda separatis dan tuntutan otonomi lokal. Persaingan ini tidak hanya bersifat ideologis, tetapi juga berkaitan erat dengan kendali atas perusahaan minyak dan jalur perdagangan strategis.
Di tengah situasi yang tegang, muncul spekulasi mengenai kemungkinan dukungan militer kepada kelompok suku Hadhramaut. Diskusi ini mencuat setelah tayangan Almahriah TV menyoroti dugaan penguatan kemampuan bersenjata pasukan tribal untuk menahan laju STC. Namun, hingga akhir Desember 2025, tidak ada konfirmasi resmi yang dapat memverifikasi klaim tersebut.

Almahriah TV, yang berbasis di luar Yaman, dikenal dengan narasi pro-komunitas Hadhrami dan kritis terhadap STC. Kanal ini kerap menggambarkan STC, meski mempunyai pasukan Hadrami,  sebagai kekuatan eksternal yang memaksakan kehendak politik di wilayah yang memiliki identitas lokal kuat. Liputannya banyak menyoroti penangkapan, pengerahan pasukan, dan dugaan pelanggaran di wilayah timur.

Pasukan suku Hadhramaut sendiri, yang dikenal melalui aliansi tribal dan kelompok perlindungan lokal (Hadramaut Protection Forces) di bawah tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh, menuntut otonomi lebih luas. Mereka menekankan pengelolaan sumber daya oleh putra daerah serta penolakan terhadap dominasi kekuatan luar, baik dari kelompok separatis maupun elite politik pusat.

Berbeda dengan pasukan tribal, terdapat pula unit militer resmi pemerintah yang berfungsi sebagai pasukan penyeimbang di wilayah selatan. Keberadaan unit ini dimaksudkan untuk mencegah benturan langsung antara kelompok bersenjata lokal dan STC. Meski memiliki tujuan serupa dalam menolak dominasi STC, pasukan resmi dan kelompok suku tidak berada dalam satu komando.

Para analis melihat dinamika ini sebagai cerminan retaknya koalisi anti-Houthi yang selama bertahun-tahun menjadi payung bersama. Hadhramaut, dengan luas wilayah dan kekayaan alamnya, kini menjadi arena utama persaingan kepentingan antaraktor regional dan lokal. Setiap pergerakan militer di kawasan ini berpotensi memicu eskalasi yang lebih luas.

Sejumlah laporan internasional menyebut ketegangan di Hadhramaut sebagai fenomena langka, mengingat wilayah tersebut relatif stabil dibandingkan daerah Yaman lainnya. Namun, stabilitas itu kini tergerus oleh rivalitas politik yang belum terselesaikan sejak perang saudara pecah satu dekade lalu. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan terbukanya front konflik baru.

Video pergerakan konvoi bersenjata di wilayah Hadhramaut yang beredar di media sosial semakin menambah ketegangan. Para pengamat menyebut situasi ini sebagai “permainan pengaruh tidak langsung” yang dapat melibatkan lebih banyak aktor jika tidak segera diredam melalui jalur politik.

Pemerintah Yaman berulang kali menekankan perlunya perlindungan warga sipil dan penghormatan terhadap struktur negara. Mereka memperingatkan bahwa konflik internal di selatan hanya akan memperpanjang krisis kemanusiaan yang telah melanda Yaman selama bertahun-tahun.

Sementara itu, perbedaan sudut pandang media regional turut mempengaruhi persepsi publik. Media tertentu menyoroti legitimasi STC, sedangkan yang lain menekankan hak masyarakat Hadhramaut atas otonomi dan keamanan. Polarisasi informasi ini mencerminkan kompleksitas konflik yang tidak sekadar hitam-putih.

Rumor dukungan senjata kepada kelompok suku dinilai sebagai bagian dari perang narasi. Banyak analis mengingatkan agar publik tidak terjebak pada spekulasi media yang berpihak, mengingat belum adanya bukti konkret di lapangan. Fokus utama, menurut mereka, seharusnya pada pencegahan kekerasan terbuka.

Dengan Houthi masih menguasai sebagian besar Yaman utara, perpecahan di selatan dinilai kontraproduktif. Konflik antaraktor anti-Houthi justru memperlemah posisi negosiasi pemerintah Yaman dalam proses perdamaian yang dimediasi internasional.

Pengamat regional memperingatkan bahwa jika krisis Hadhramaut tidak segera dikelola, dampaknya dapat meluas ke stabilitas kawasan. Jalur perdagangan, energi, dan keamanan perbatasan menjadi taruhan dalam konflik yang semakin kompleks ini.

Menutup Desember 2025, Hadhramaut berdiri sebagai simbol rapuhnya tatanan pascaperang Yaman. Antara unjuk kekuatan, demonstrasi massa, dan perang wacana, wilayah ini kembali menunjukkan bahwa perdamaian Yaman masih jauh dari kata final tanpa kesepakatan politik inklusif.

Post a Comment