Bougainville dan Pelajaran Referendum Kemerdekaan Dunia

Bougainville kembali menjadi sorotan internasional setelah hasil referendum sejarah pada 2019 menunjukkan dukungan luar biasa untuk merdeka. Wilayah otonom di tenggara Papua Nugini itu mencatat hampir 98,3 persen suara mendukung kemerdekaan dalam sebuah proses yang diawasi oleh pengamat internasional. Namun, meskipun suara rakyat telah jelas menolak status quo, Bougainville belum merdeka dan masih merupakan bagian dari Papua Nugini. Situasi ini memunculkan pertanyaan kenapa hasil referendum tidak langsung membawa kemerdekaan seperti yang terjadi di Timor Timur pada awal 2000-an.

Perbedaan utama antara Bougainville dan Timor Timur terletak pada pengaturan hukum dan politik di dalam negeri masing-masing. Timor Timur adalah sebuah provinsi Indonesia yang berbeda statusnya dari provinsi atau wilayah otonom di negara merdeka lain. Ketika Timor Timur memutuskan untuk merdeka lewat referendum 1999, hasil itu mengarah ke sebuah proses yang didukung oleh PBB dan komunitas internasional yang akhirnya membawa wilayah itu menjadi negara merdeka penuh pada 2002. Ini menjadi kelemahan politik Indonesia karena tanpa melibatkan DPR dalam putusan akhirnya.

Sementara itu, Bougainville berada dalam satu kesatuan dengan Papua Nugini yang merdeka dan berdaulat. Referendum 2019 bukanlah suatu tindakan sepihak, tetapi bagian dari Bougainville Peace Agreement 2001, yang disepakati antara pemberontak, pihak pemerintah Papua Nugini, dan fasilitator internasional. Intinya, referendum itu adalah konsultatif dan hasilnya harus dibawa ke parlemen nasional Papua Nugini untuk diratifikasi atau dinaikkan ke status final.

Para pemimpin Bougainville dan pemerintah nasional PNG sepakat bahwa hasil referendum harus dinegosiasikan lebih lanjut. Ini adalah bukti bahwa kemerdekaan bukan hanya soal suara rakyat, tetapi juga soal dinamika politik dan hukum konstitusional negara yang bersangkutan. Pemerintah Papua Nugini sejak awal menegaskan bahwa meskipun mereka menghormati aspirasi rakyat Bougainville, keputusan akhir tetap berada di tangan lembaga legislatif nasional.

Perbedaan lain dengan Timor Timur adalah kekuatan dan stabilitas institusi negara induk. Papua Nugini adalah negara merdeka dengan struktur pemerintahan sendiri, sedangkan Timor Timur berada di bawah negara Indonesia yang selalu diganggu Australia dkk pasca-1999. Hal ini membuat langkah Timor Timur langsung menuju kemerdekaan menjadi mungkin tanpa perlu konsultasi lebih lanjut.

Kasus Bougainville juga memiliki konteks sejarah panjang konflik internal, termasuk pemberontakan bersenjata yang dipimpin oleh Bougainville Revolutionary Army (BRA). Konflik itu telah menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi, sehingga perjanjian damai yang melahirkan referendum juga menekankan perlunya transisi bertahap dan stabilitas sebelum kemerdekaan dapat disahkan.

Selain itu, faktor ekonomi turut memainkan peran penting. Bougainville memiliki potensi sumber daya, seperti tambang Panguna, yang selama ini menjadi salah satu akar konflik. Pertanyaan tentang bagaimana wilayah merdeka akan mengelola sumber daya ini dan dampaknya terhadap pendapatan nasional PNG menjadi tema penting dalam negosiasi lanjutan.

Proses pasca-referendum telah membuka dialog antara pemimpin Bougainville dan otoritas pusat di Port Moresby, tetapi hingga kini belum ada kesepakatan final mengenai tenggat waktu atau syarat pasti untuk kemerdekaan. Pemerintah Papua Nugini berulang kali menegaskan bahwa ratifikasi lembaga-legislatif diperlukan agar perubahan status konstitusional dapat berlaku secara sah.

Jika dibandingkan dengan situasi di Timur Tengah, referendum Bougainville memiliki beberapa kemiripan dengan aspirasi otonomi yang pernah muncul di wilayah Kurdistan Irak. Di wilayah utara Irak itu, pemerintah regional Kurdistan mengadakan referendum kemerdekaan pada 2017, yang juga menunjukkan dukungan signifikan dari rakyat. Namun, referendum tersebut tidak diakui oleh pemerintah federal Irak dan banyak negara lainnya, sehingga belum menghasilkan kemerdekaan.

Persamaan lain di antara keduanya adalah batas-batas konstitusional yang kompleks dan hubungan antara pemerintah pusat dan wilayah yang ingin lepas. Dalam kasus Kurdistan, isu minyak, keamanan, dan hubungan diplomatik juga menjadi bahan negosiasi keras antara Baghdad dan Erbil. Hasilnya, meski rakyat Kurdistan berbicara jelas lewat referendum, kemerdekaan formal masih jauh dari jangkauan karena tantangan politik dan konstitusional.

Kasus serupa juga terlihat dalam beberapa wilayah Eropa seperti di Spanyol, termasuk di Catalonia dan wilayah Basque yang pernah mengupayakan otonomi atau pemisahan dari negara pusat. Di sana, referendum yang dilakukan pemerintah daerah tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah nasional Spanyol dan Mahkamah Konstitusional, yang menegaskan bahwa langkah tersebut bersifat inkonstitusional. Ini memperlihatkan bahwa tanpa dukungan hukum nasional, aspirasi rakyat dalam referendum bisa menjadi sejarah tanpa perubahan status politik secara nyata.

Semua contoh ini memperlihatkan bahwa referendum kemerdekaan hanyalah salah satu unsur dari proses yang jauh lebih kompleks. Transformasi suatu wilayah menjadi negara merdeka tidak hanya tergantung pada suara mayoritas rakyatnya, tetapi juga pada struktur hukum nasional, kesepakatan politik, dan bahkan pertimbangan geopolitik internasional.

Dalam konteks Bougainville, dukungan internasional tampak menghormati hasil referendum dan menilai proses sebagai sah dan demokratis. Namun, negara-negara besar umumnya bersikap hati-hati dalam memberikan pengakuan penuh karena khawatir membuka preseden yang dapat memicu konflik serupa di wilayah lain.

Sementara itu, perkembangan politik di Papua Nugini sendiri akan sangat menentukan masa depan Bougainville. Jika parlemen nasional memutuskan untuk menerima hasil referendum melalui amendemen konstitusi atau undang-undang khusus, maka jalan menuju kemerdekaan akan menjadi lebih jelas. Namun, jika negosiasi terus berlarut tanpa kesepakatan, wilayah ini bisa berada dalam status otonomi panjang tanpa kedaulatan penuh.

Perdebatan di dalam masyarakat Bougainville juga berkembang, dengan sebagian masyarakat menekankan pentingnya kemerdekaan segera, sementara kelompok lain menyoroti kebutuhan untuk memastikan stabilitas ekonomi dan sosial sebelum melangkah lebih jauh. Kekhawatiran tentang kemampuan administrasi baru pasca-kemerdekaan juga menjadi bagian dari diskusi publik.

Pemerintah Papua Nugini sendiri telah menempatkan beberapa syarat agar proses transisi berjalan tertib, termasuk jaminan keamanan, pembagian aset nasional yang adil, dan kerangka kerja ekonomi pasca-perubahan status. Hal ini menunjukkan bahwa kesepakatan dua pihak diperlukan untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan.

Di sinilah perbedaan mendasar antara Bougainville dan Timor Timur terlihat paling jelas: dalam kasus pertama, ada negara induk dengan kedaulatan penuh yang harus diajak bersepakat, sementara dalam kasus terakhir, struktur kolonial telah runtuh sehingga kewenangan mutlak untuk menentukan masa depan wilayahnya dapat dilakukan tanpa hambatan konstitusional.

Sementara itu, dari perspektif hukum internasional, DPR Papua Nugini memainkan peran setara dengan parlemen nasional di negara lain dalam menetapkan perubahan konstitusi atau status wilayah. Ketidakadaan persetujuan lembaga legislatif nasional adalah alasan utama mengapa referendum Bougainville belum otomatis berubah menjadi kemerdekaan.

Akhirnya, laporan perkembangan menyebutkan bahwa Bougainville dan Papua Nugini telah membentuk beberapa tim kerja bersama untuk membahas langkah-langkah teknis pasca-referendum, termasuk isu pertahanan, perbatasan, sumber daya alam, dan hubungan perdagangan. Ini adalah tanda bahwa kedua pihak menyadari kebutuhan dialog lanjutan meskipun masih ada perbedaan pandangan.

Kesimpulannya, kasus Bougainville menunjukkan betapa rumitnya proses menuju kemerdekaan bahkan setelah suara rakyat menyatakan kehendak mereka. Perbandingan dengan Timor Timur, Kurdistan Irak, dan gerakan separatis di Eropa memperlihatkan bahwa status hukum nasional, dukungan politik, serta negosiasi yang efektif adalah unsur penting dalam menentukan apakah aspirasi kemerdekaan akan terwujud secara penuh atau tetap berada dalam tahap aspirasi panjang. Sejarah memang sering berpihak pada mereka yang bertahan, tetapi jalan menuju pengakuan negara baru tetap penuh tantangan.

إرسال تعليق