Strategi Ganda Amerika di Suriah: Politik Regional ala Taiwan


Perdebatan mengenai arah kebijakan Amerika Serikat di Suriah kembali mengemuka setelah rancangan Undang-Undang Pertahanan Nasional AS (NDAA) 2026 mencantumkan sejumlah keputusan yang tampak saling bertentangan. Di satu sisi, Washington mendorong integrasi Pasukan Demokratik Suriah (SDF) ke dalam struktur resmi Kementerian Pertahanan Suriah sebagai bagian dari upaya stabilisasi jangka panjang. Namun di sisi lain, AS tetap mengalokasikan anggaran besar secara langsung kepada SDF, tanpa izin Damaskus sebagai pemerintah pusat yang diakui secara internasional.

Kontradiksi ini menimbulkan interpretasi baru bahwa Washington sedang memainkan politik dua kaki yang oleh sebagian analis disebut mirip strategi “Taiwanisasi”. Dalam konteks hubungan AS–Tiongkok, Washington secara terbuka mendukung prinsip Satu Tiongkok dan menyatakan berharap adanya reunifikasi damai antara Taiwan dan Beijing. Namun pada saat bersamaan, AS terus memasok senjata dan memperkuat kerja sama militer dengan Taipei, menciptakan situasi yang membuat Taiwan dapat bertahan secara de-facto tanpa deklarasi negara merdeka.

Pola serupa terlihat dalam hubungan AS dengan SDF. Pemerintah AS secara resmi mendukung integritas teritorial Suriah dan menyatakan SDF suatu saat harus terintegrasi kembali ke struktur negara. Namun keputusan NDAA 2026 yang mengalokasikan 130 juta dolar khusus untuk SDF menunjukkan bahwa Washington ingin mempertahankan kemampuan tempur dan struktur komando SDF secara mandiri. Langkah ini membuat upaya integrasi bersifat simbolis, sementara dukungan nyata justru memperpanjang otonomi de-facto wilayah timur laut Suriah.

Selain dukungan terhadap SDF, NDAA 2026 juga memasukkan pengakuan resmi terhadap Peshmerga sebagai mitra keamanan nasional AS. Pengakuan ini mempertegas pola kebijakan Washington di Timur Tengah: memperkuat aktor non-negara atau aktor sub-nasional sekaligus tetap menyatakan dukungan terhadap negara pusat. Dalam praktiknya, pola ini menciptakan ruang ambigu yang mempersulit tercapainya kesepakatan politik yang koheren di kawasan.

Kejutan terbesar dalam rancangan NDAA tahun ini adalah usulan pembatalan Undang-Undang Caesar, paket sanksi yang sejak 2019 menjadi alat utama AS menekan pemerintah Suriah. Pembatalan Caesar, jika disetujui, akan memberikan ruang ekonomi baru bagi Damaskus untuk berinteraksi dengan pasar regional dan Arab. Namun di tengah peluang itu, dukungan finansial terhadap SDF justru meningkatkan kecurigaan bahwa AS ingin mempertahankan struktur otonom Kurdi sebagai alat tawar-menawar jangka panjang.

Pertentangan ini menimbulkan perdebatan intensif di antara pengamat hubungan internasional. Sebagian menilai strategi AS adalah bentuk “double containment”, menyeimbangkan SDF tanpa sepenuhnya melepas Damaskus. Yang lain melihatnya sebagai pendekatan khas AS: mendukung integrasi secara retorik, tetapi memastikan mitra lapangan tetap kuat secara militer agar dapat memengaruhi proses politik di kemudian hari.

Pembandingan dengan Taiwan semakin menguat ketika para analis memperhatikan retorika resmi Washington. Dalam dua dekade terakhir, AS secara konsisten menolak kemerdekaan formal Taiwan namun terus memperluas suplai senjata dan pelatihan militer. Kebijakan itu melindungi status quo sambil mencegah dominasi total Beijing. Kini, pola tersebut tampak diadaptasi di Suriah: mendukung integritas teritorial Suriah sambil mempersenjatai kekuatan yang tidak berada di bawah kendali Damaskus.

Di wilayah selatan Suriah, dinamika serupa muncul melalui tindakan Israel. Meski Tel Aviv tidak pernah mengumumkan pendudukan langsung wilayah selatan Suriah selain Quneitra, laporan-laporan independen menyebut bahwa Israel memberikan dukungan finansial kepada unit-unit Garda Nasional Suriah yang memiliki agenda separatisme di bawah kepemimpinan milisi Al-Hajri. Dukungan ini menciptakan kantong pasukan pro-Israel yang berfungsi sebagai penyangga keamanan, meski tidak memiliki status resmi dalam konflik Suriah.

Mekanisme ini menunjukkan bagaimana aktor besar di kawasan menggunakan strategi mirip: menjaga status quo politik formal, tetapi memperkuat mitra lokal untuk mengimbangi kekuatan pusat. Peta Suriah, yang sejak 2011 terus mengalami fragmentasi, menjadi lahan ideal bagi strategi seperti ini. AANES di timur laut, zona pengaruh Turki di barat laut, kekuatan lokal pro-Israel di selatan, serta jaringan milisi pro-Iran di sepanjang perbatasan Irak menciptakan mozaik yang memungkinkan kekuatan asing mengatur keseimbangan mereka sendiri.

Bagi Damaskus, kabar mengenai alokasi dana baru AS kepada SDF diterima sebagai sinyal negatif di tengah harapan pelonggaran sanksi. Pemerintah Suriah menilai kebijakan itu memperkuat entitas bersenjata yang tidak tunduk pada konstitusi Suriah. Namun tanpa kekuatan militer memadai untuk mengambil alih kembali ladang-ladang minyak di Hasakah dan Deir Ezzor, Damaskus hanya mampu mengeluarkan kecaman politik tanpa tindakan konkret.

Sementara itu, para pemimpin AANES menanggapi rancangan NDAA dengan sikap berhati-hati. Mereka menyambut baik dukungan finansial tetapi tetap menyadari bahwa Washington sering mengganti prioritas dengan cepat sesuai dinamika geopolitik. Ketidakpastian itu membuat elite politik Kurdi berusaha menguatkan hubungan dengan Baghdad dan Mosul, sekaligus mempertahankan komunikasi tak langsung dengan Damaskus mengenai kemungkinan bentuk integrasi sipil di masa depan.

Dalam konteks hubungan Arab, penghapusan Undang-Undang Caesar dapat membuka pintu rekonsiliasi antara Suriah dan negara-negara Teluk. Riyadh dan Abu Dhabi yang sejak 2023 mulai melonggarkan isolasi terhadap Assad bisa menjadi perantara bagi integrasi SDF jika skenario itu benar-benar dipertimbangkan. Namun dukungan finansial berkelanjutan dari Washington kepada SDF justru mengindikasikan bahwa integrasi masih jauh dari kenyataan.

Para pengamat di Eropa melihat langkah ini sebagai bagian dari strategi AS untuk mencegah kekosongan keamanan di Suriah timur untuk leverage kepada pengaruh regional Turkiye. Dengan mempertahankan SDF sebagai entitas bersenjata kuat, Washington memastikan ada mitra lokal yang mampu menjalankan politik adu domba AS dkk di kawasan. Meski demikian, pendekatan ini menunda penyelesaian politik jangka panjang.

Di ranah diplomatik, sejumlah negara anggota PBB mempertanyakan konsistensi kebijakan AS. Negara-negara ini menilai bahwa mendukung integritas Suriah sembari memperkuat struktur militer non-negara adalah tindakan yang menciptakan preseden berbahaya bagi negara-negara lain yang berjuang mempertahankan kedaulatan. Analogi dengan Taiwan kembali menguat, karena dua wilayah tersebut sama-sama disebut memiliki “otonomi yang dipertahankan secara eksternal”.

Pemerintah Tiongkok, tanpa menyebut Suriah secara spesifik, beberapa kali mengkritik kebijakan AS yang dianggap mendorong fragmentasi wilayah negara lain. Beijing menyatakan bahwa prinsip integritas teritorial harus dijunjung tinggi dalam semua kasus, bukan hanya ketika sejalan dengan kepentingan geopolitik Washington. Pernyataan itu dipandang sebagian pengamat sebagai sindiran terhadap pola kebijakan AS di Suriah dan di Selat Taiwan.

Krisis Suriah yang belum menunjukkan tanda penyelesaian justru membuka ruang bagi strategi seperti ini terus berlangsung. Selama tidak ada solusi politik menyeluruh, setiap aktor—baik lokal maupun internasional—akan terus mengandalkan kemitraan bersifat oportunistik. Dalam kondisi seperti itu, dukungan AS kepada SDF menjadi bagian dari pola besar stabilisasi jangka pendek tanpa formulasi jangka panjang yang jelas.

Tokoh-tokoh oposisi Suriah di pengasingan menilai bahwa kebijakan ganda AS berpotensi memperpanjang umur konflik. Mereka menilai Washington enggan memberikan dukungan penuh kepada Damaskus karena khawatir memperkuat Iran, namun juga tidak siap mendorong kemandirian penuh bagi SDF karena risiko memicu konflik dengan Turki. Alhasil, struktur otonom SDF dipertahankan dalam ruang abu-abu hukum dan politik.

Israel, sebagai aktor lain yang memanfaatkan fragmentasi Suriah, juga memelihara jaringan kemitraan lokal yang tidak diumumkan secara resmi. Hubungan dengan kelompok Garda Nasional di bawah Al-Hajri menjadi contoh paling nyata mengenai bagaimana negara kuat menjaga zona penyangga tanpa melakukan ekspansi formal. Pola ini ikut memperkuat asumsi bahwa Suriah telah berubah menjadi arena kontestasi strategi “Taiwanisasi” versi Timur Tengah.

Dengan semakin dekatnya pemungutan suara atas NDAA 2026, perhatian kembali tertuju pada bagaimana kebijakan itu akan membentuk ulang hubungan kekuatan di Suriah utara. Jika Caesar benar-benar dicabut, Damaskus akan memperoleh ruang bernapas. Namun selama dana khusus untuk SDF tetap mengalir, integrasi politik dan militer yang digadang-gadang AS kemungkinan besar hanya akan menjadi wacana.

Pada akhirnya, strategi ganda Amerika Serikat di Suriah menunjukkan bahwa stabilitas jangka panjang bukanlah prioritas utama. Washington lebih memilih status quo yang dapat dikendalikan ketimbang satu solusi politik yang berisiko menguntungkan lawannya. Di tengah kerumitan itu, SDF, Damaskus, KRG, Israel, dan aktor regional lainnya bergerak dalam pola yang menyerupai konflik beku, sementara masyarakat Suriah terus menunggu kepastian yang belum kunjung hadir.

Persamaan lainnya

Berbagai pengamat sejarah mengingatkan bahwa pola kebijakan dua kaki bukan hanya ciri khas Amerika Serikat. Rusia, pada masa Uni Soviet, juga pernah menerapkan strategi serupa di Asia Timur ketika perang saudara antara Partai Komunis Tiongkok (PKC) dan Kuomintang berlangsung. Pada periode 1930–1940-an, Moskow memberikan dukungan politik dan militer yang terbatas kepada kelompok-kelompok lokal di Xinjiang dan Mongolia, meskipun secara formal Uni Soviet tetap menjaga hubungan diplomatik dengan pemerintahan Tiongkok saat itu. Dukungan ini dimaksudkan untuk menjaga pengaruh Soviet di wilayah perbatasan, tanpa harus terlibat langsung dalam konflik internal Tiongkok.

Xinjiang pada masa itu menjadi arena kontestasi antara Moskow dan pusat kekuasaan Tiongkok. Pemerintahan lokal di Urumqi, yang lemah dan terpecah, beberapa kali menerima bantuan konsultan militer dan perlindungan politik dari Uni Soviet. Di satu sisi, Moskow menyatakan bahwa integritas teritorial Tiongkok harus dihormati. Namun pada sisi lain, Uni Soviet mendukung milisi-milisi lokal anti-Kuomintang untuk menjaga agar wilayah tersebut tetap berada dalam orbit pengaruhnya. Pola ini sangat mirip dengan praktik modern di Suriah, ketika negara besar mendukung aktor lokal sambil tetap mengakui pemerintah pusat demi menjaga ruang diplomatik.

Sementara itu, Mongolia menjadi contoh paling jelas dari keberhasilan strategi dua kaki tersebut. Wilayah itu secara historis dianggap bagian dari kekaisaran Tiongkok, namun Uni Soviet memperkuat struktur pemerintahan lokal di Ulaanbaatar dan memberikan perlindungan militer yang efektif. Dengan taktik ini, Mongolia berhasil mempertahankan otonominya dan kemudian diakui sebagai negara merdeka oleh komunitas internasional. Beijing, dalam kondisi perang internal dan tekanan Jepang, tidak dapat mengembalikan Mongolia ke dalam struktur negaranya, meski secara formal masih mencantumkan Mongolia sebagai wilayah Tiongkok hingga akhir 1940-an.

Kemenangan PKC dalam perang saudara mengubah peta politik, namun pola dukungan Soviet tersebut tetap meninggalkan jejak mendalam. Beijing akhirnya berhasil membawa Xinjiang ke dalam kontrol penuh setelah serangkaian negosiasi dan operasi integrasi pada 1949–1950. Namun Mongolia tetap berada di luar jangkauan, menjadi satu-satunya wilayah besar bekas kekuasaan Tiongkok yang tidak dapat dipulihkan. Banyak sejarawan menilai bahwa keberhasilan Ulaanbaatar mempertahankan kemerdekaannya sangat terkait dengan dukungan Soviet yang bekerja dalam ruang abu-abu politik.

Jika pola ini diproyeksikan ke situasi Suriah masa kini, sejumlah analis melihat kemiripan menarik. Pemerintahan Assad digambarkan seperti Korea Utara—negara pusat yang bertahan meskipun terisolasi, disanksi, dan didukung oleh aliansi terbatas seperti Rusia dan Iran. Pemerintah pusat tetap memegang kursi PBB dan legitimasi internasional, tetapi mengalami kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah ekonominya, terutama ladang minyak di timur. Situasi ini menciptakan kesan bahwa Suriah masih utuh secara hukum, tetapi terfragmentasi secara teritorial.

Sementara itu, SDF dan AANES sering dianalogikan sebagai Korea Selatan, meskipun mereka tidak berstatus negara dan tidak memiliki pengakuan diplomatik. Wilayah tersebut memiliki pemerintahan sendiri, angkatan keamanan mandiri, dan hubungan langsung dengan kekuatan global seperti Amerika Serikat. AANES menggambarkan struktur pemerintahan modern yang berfungsi dalam kerangka terpisah, meski secara formal tetap diklaim sebagai wilayah Suriah. Perbandingan ini tidak sempurna, tetapi membantu melihat bagaimana entitas non-negara dapat berfungsi hampir sebagai negara dalam praktik.

Dalam perspektif militer, kehadiran pasukan Amerika di wilayah timur laut Suriah memperkuat analogi tersebut. Sama seperti keberadaan militer AS di Korea Selatan mempertahankan otonomi Seoul dari tekanan Pyongyang, keberadaan pasukan AS di Suriah timur menjaga agar SDF tidak dapat ditundukkan secara paksa oleh Damaskus. Meski Washington secara resmi menolak mendukung kemerdekaan Kurdi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa SDF bertahan karena perlindungan strategis AS, serupa dengan peran Washington di Taiwan atau Seoul.

Ketika memperhatikan pola historis ini, terlihat bahwa negara besar cenderung mempertahankan dua jalur kebijakan: mendukung keutuhan negara sah secara formal, tetapi memperkuat entitas lokal untuk keseimbangan kekuasaan. Soviet melakukan hal itu di Xinjiang dan Mongolia, sementara AS melakukannya dengan Taiwan, Korea Selatan, dan kini SDF. Pola ini memungkinkan negara besar mengendalikan situasi tanpa harus memikul biaya politik dekolonisasi atau perubahan perbatasan.

Perbedaan yang mencolok adalah bahwa China berhasil mengembalikan Xinjiang ke dalam kontrol pusat, tetapi gagal di Mongolia karena struktur internasional berubah. Suriah menghadapi dilema serupa: menginginkan integrasi kembali wilayah timur laut, tetapi tidak memiliki kekuatan militer untuk menantang kehadiran AS dan otonomi de-facto SDF. Dengan demikian, Suriah dapat mengulangi perjalanan sejarah Tiongkok: sebagian wilayah kembali ke pangkuan negara, sementara bagian lain tetap berada dalam orbit kekuatan asing.

Dalam kerangka besar ini, Suriah di bawah Assad dan kemudian Presiden baru Ahmed Al Sharaa, berada dalam posisi serupa dengan negara yang terjepit oleh geopolitik besar. Pemerintah pusat memiliki legitimasi legal, tetapi dihadapkan kepada realitas kekuasaan yang terpecah. Sementara SDF, meski tidak mencari kemerdekaan formal, beroperasi seperti negara mini dengan dukungan kekuatan global. Konflik Suriah pun bergerak ke arah pola “dua sistem” yang mungkin bertahan bertahun-tahun, sebagaimana hubungan Tiongkok–Mongolia, China–Taiwan, dan Korea Utara–Korea Selatan.

Post a Comment