Eropa Dukung Integritas Wilayah Suriah, Golan Bukan Milik Israel


Pernyataan resmi Uni Eropa baru-baru ini menegaskan kembali pentingnya penghormatan terhadap integritas wilayah Suriah sesuai hukum internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sikap ini mencerminkan penolakan terhadap dua isu utama yang saat ini menguji kedaulatan Damaskus, yakni pendudukan Israel atas wilayah Quneitra di Dataran Tinggi Golan dan ambisi sejumlah otoritas lokal di timur laut Suriah—terutama AANES (Administrasi Otonom Suriah Timur Laut)—yang ingin memisahkan diri dari negara induknya. Uni Eropa, melalui Dewan Eropa dan perwakilan tingginya, menegaskan bahwa upaya memecah Suriah, baik melalui pendudukan asing maupun proyek otonomi yang menjurus ke pemisahan, tidak dapat diterima.

Dalam rapat Dewan Eropa yang berlangsung di Brussel, para pemimpin negara-negara anggota menekankan komitmen mereka terhadap keutuhan dan kedaulatan Suriah. Poin tersebut ditulis secara eksplisit dalam pernyataan publik mereka dan menjadi bagian penting dari pendekatan Eropa dalam menyikapi konflik Suriah yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Penekanan pada integritas wilayah Suriah juga sekaligus menjadi sinyal penolakan halus terhadap eksistensi politik AANES yang selama ini didukung oleh kekuatan asing, termasuk Amerika Serikat.

Dewan Eropa memandang bahwa stabilitas Suriah hanya dapat dicapai melalui proses politik yang inklusif, bebas dari intervensi asing dan tidak dibentuk oleh kekuatan militer atau tekanan luar. Dalam konteks ini, pendudukan Israel atas wilayah Quneitra di Dataran Tinggi Golan juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran atas prinsip-prinsip hukum internasional. Israel telah menduduki wilayah itu sejak 1967 dan, terus menambah wilayahnya paska jatuhnya rejim Bashar Al Assad, mengukuhkan kekuasaannya meski tidak pernah diakui secara sah oleh komunitas internasional, termasuk Uni Eropa.

Sikap Eropa yang tidak mengakui kedaulatan Israel atas Golan ditegaskan kembali melalui pernyataan resmi yang dirilis Perwakilan Tinggi Uni Eropa. Mereka menyatakan bahwa posisi Uni Eropa mengenai status Dataran Tinggi Golan tidak berubah, yakni bahwa wilayah tersebut adalah bagian dari Suriah dan berada di bawah pendudukan. Hal ini sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan 497, yang secara tegas menyebut pendudukan itu sebagai ilegal.

Pernyataan tersebut secara tidak langsung menguatkan posisi Suriah atas wilayah Golan dan menolak segala bentuk klaim sepihak yang ingin mengubah realitas politik kawasan. Pada 2019, pemerintah Israel secara simbolis mengganti nama sebagian wilayah Dataran Tinggi Golan menjadi "Trump Heights" sebagai bentuk penghormatan kepada Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang mengakui Golan sebagai wilayah Israel. Namun langkah ini tidak mendapat legitimasi dari Eropa maupun PBB.

Bagi Uni Eropa, perubahan nama atau pembangunan pemukiman tidak dapat mengubah status hukum wilayah tersebut. Golan tetap dianggap sebagai wilayah yang berada di bawah pendudukan militer Israel. Langkah-langkah simbolik seperti penggantian nama hanya dipandang sebagai taktik propaganda untuk mempermanis okupasi ilegal yang berlangsung selama puluhan tahun.

Pernyataan Uni Eropa tersebut memperkuat posisi hukum internasional bahwa kedaulatan atas wilayah tidak bisa ditentukan secara sepihak atau melalui pengakuan politik terbatas. Klaim Israel atas Golan, sebagaimana klaim AANES atas kemerdekaan de facto di timur laut Suriah, merupakan bentuk pelanggaran terhadap keutuhan teritorial yang dijamin hukum internasional.

Dalam perspektif Eropa, membiarkan perubahan status wilayah secara sepihak akan menciptakan preseden berbahaya bagi tatanan global. Jika komunitas internasional mulai mengakui penguasaan wilayah berdasarkan kekuatan militer atau dukungan sepihak, maka stabilitas dunia akan terancam. Oleh karena itu, Eropa mengambil posisi tegas dalam menolak setiap bentuk aneksasi atau pemisahan yang tidak melalui mekanisme hukum internasional.

Sikap ini juga konsisten dengan dukungan Eropa terhadap proses rekonsiliasi politik di Suriah. Uni Eropa mendorong terbentuknya pemerintahan yang inklusif dan sah berdasarkan dialog antar faksi nasional, bukan melalui pemaksaan kekuasaan oleh kelompok tertentu, baik yang didukung asing maupun yang mencoba menjadikan wilayahnya sebagai entitas terpisah.

Golan dan timur laut Suriah mungkin terpisah secara geografis, tetapi keduanya menyimpan persoalan yang sama: ancaman terhadap kedaulatan negara akibat intervensi asing dan politik lokal yang memanfaatkan kekosongan kekuasaan pusat. Uni Eropa melihat keduanya dalam kerangka yang sama, yakni tantangan terhadap prinsip integritas teritorial Suriah.

Dalam pernyataan lebih luas, Dewan Eropa juga menggarisbawahi pentingnya rekonsiliasi nasional dan penghormatan terhadap seluruh kelompok etnis dan agama di Suriah. Langkah ini dinilai vital untuk menciptakan negara yang kuat dan tidak lagi rentan terhadap upaya disintegrasi. Dalam konteks ini, memperkuat otoritas pusat Suriah secara damai dan legal menjadi kunci menuju perdamaian jangka panjang.

Pernyataan Eropa juga datang di tengah meningkatnya pembangunan infrastruktur oleh Israel di Golan. Proyek pemukiman, jalur logistik militer, dan kawasan hunian baru terus berkembang meski dunia internasional belum mengakui legitimasi tindakan tersebut. Dengan terus memperkuat kehadiran sipil dan militer di Golan, Israel berusaha mempermanenkan status quo yang tidak sah secara hukum.

Namun, Eropa menegaskan bahwa fakta di lapangan tidak dapat mengubah prinsip dasar hukum internasional. Tidak ada pembangunan, pengakuan politik terbatas, atau perubahan nama yang dapat menggantikan legalitas status suatu wilayah. Golan tetap Suriah, dan tindakan Israel di sana tetap merupakan pendudukan menurut hukum.

Dalam waktu yang sama, Uni Eropa mulai meningkatkan keterlibatan diplomatiknya dengan Suriah untuk menghindari isolasi total dan membangun kembali jalur dialog, khususnya menyangkut isu kemanusiaan dan rekonstruksi pasca-perang. Namun mereka tetap bersikap tegas dalam menolak segala bentuk disintegrasi wilayah, baik melalui kelompok separatis maupun pendudukan asing.

Melalui pendekatan multilapis ini, Eropa berusaha menyeimbangkan kepentingan stabilitas regional, penghormatan terhadap hukum internasional, serta mendukung rakyat Suriah untuk membangun kembali negaranya dalam kerangka kesatuan nasional. Pernyataan terbaru ini bukan hanya tentang Dataran Tinggi Golan, tetapi tentang posisi tegas Uni Eropa terhadap seluruh proyek pemisahan dan pendudukan yang mengancam peta politik kawasan.

Dengan demikian, nama "Trump Heights" mungkin menghiasi peta buatan, tetapi di mata hukum dan komunitas internasional, Golan tetap milik Suriah. Eropa tidak goyah dalam prinsip ini, dan pesan mereka jelas: integritas wilayah bukan sekadar simbol politik, tapi fondasi stabilitas dunia.

Seruan Uni Eropa tersebut juga sejalan dengan pernyataan Presiden Turki yang mengingatkan tentang adanya kekuatan-kekuatan tertentu yang ingin menjadi 'Sykes-Picot baru' dengan tujuan mengubah peta politik Timur Tengah seperti ambisi kolonialisme baru Israel bernama Greater Israel yang mencakup Palestina, Yordania, Irak, Suriah, Mesir dll.

Post a Comment