Aljazair selama berabad-abad dikenal sebagai salah satu pusat pertanian terpenting di kawasan Mediterania. Letaknya di Afrika Utara, dengan bentang alam pesisir subur dan dataran tinggi yang luas, menjadikan negeri ini memiliki sejarah panjang sebagai penghasil bahan pangan utama, terutama gandum.
Sejak masa kuno, wilayah Aljazair telah menjadi lahan pertanian strategis. Pada era kerajaan Numidia, gandum ditanam secara luas untuk memenuhi kebutuhan lokal dan perdagangan regional. Tradisi bertani ini kemudian mencapai puncaknya pada masa Kekaisaran Romawi.
Dalam catatan Romawi, Afrika Utara—termasuk Aljazair—disebut sebagai granarium Roma, atau lumbung gandum bagi ibu kota kekaisaran. Gandum dari kawasan ini dikirim secara rutin ke Roma untuk menopang populasi kota dan pasukan legiun yang tersebar di Eropa.
Keberhasilan tersebut didukung oleh iklim Mediterania yang khas. Musim dingin yang basah dan sejuk serta musim panas yang kering sangat cocok bagi pertumbuhan gandum, terutama jenis gandum keras atau durum wheat yang tahan kekeringan.
Selain faktor alam, keberhasilan pertanian Aljazair juga ditopang oleh pengetahuan lokal. Komunitas Berber mengembangkan sistem pertanian kering, pengelolaan lahan berbasis musim hujan, serta rotasi tanaman yang menjaga kesuburan tanah.
Memasuki masa kekuasaan Islam, pertanian Aljazair tidak mengalami kemunduran. Justru terjadi kesinambungan dan inovasi, termasuk pengelolaan air dan distribusi hasil panen melalui jaringan perdagangan dunia Islam yang membentang dari Andalusia hingga Timur Tengah.
Pada periode Utsmani, Regensi Aljir dikenal sebagai wilayah yang mampu menghasilkan surplus gandum. Produksi ini bukan hanya untuk konsumsi dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor ke Eropa Selatan yang kerap dilanda krisis pangan.
Kejayaan pertanian inilah yang membuat Aljazair menjadi pemasok gandum penting bagi Prancis pada akhir abad ke-18. Di tengah gejolak Revolusi Prancis, gandum Aljazair menjadi penopang logistik bagi tentara dan rakyat Prancis yang kekurangan pangan.
Gandum yang diekspor tersebut sepenuhnya berasal dari hasil panen lokal. Petani-petani Arab dan Berber mengolah lahan tanpa sistem perkebunan besar, sementara negara memungut pajak hasil panen sebagai sumber pendapatan.
Namun, titik balik terjadi pada tahun 1830 ketika Prancis menginvasi dan menjajah Aljazair. Struktur pertanian tradisional yang telah bertahan berabad-abad mulai terguncang oleh kebijakan kolonial.
Lahan-lahan subur di pesisir dan dataran tinggi dialihkan untuk kepentingan pemukim Eropa. Petani lokal tersingkir, sementara produksi pertanian diarahkan untuk ekspor kolonial, bukan ketahanan pangan masyarakat setempat.
Akibatnya, keseimbangan lama antara produksi, konsumsi, dan cadangan pangan rusak. Aljazair yang sebelumnya dikenal sebagai pengekspor gandum mulai mengalami kerentanan pangan secara bertahap.
Setelah merdeka pada 1962, Aljazair berusaha memulihkan sektor pertaniannya. Negara mengambil alih lahan-lahan bekas kolonial dan mendorong kembali produksi pangan nasional sebagai bagian dari pembangunan ekonomi.
Berbagai program irigasi dan modernisasi pertanian diluncurkan, terutama di wilayah utara yang masih memiliki potensi besar. Gandum tetap menjadi komoditas utama, berdampingan dengan jelai dan tanaman pangan lainnya.
Meski demikian, tantangan tidak kecil. Pertumbuhan penduduk yang cepat, perubahan iklim, dan keterbatasan air membuat produksi gandum domestik sulit mengejar kebutuhan nasional.
Saat ini, Aljazair masih menanam gandum dalam skala luas, terutama gandum keras yang menjadi bahan pokok makanan tradisional seperti couscous. Namun, negeri ini juga menjadi salah satu importir gandum terbesar di dunia.
Ketergantungan pada impor menunjukkan kontras tajam dengan kejayaan masa lalu. Dari lumbung gandum Romawi dan penopang Eropa, Aljazair kini harus bersaing di pasar global untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Pemerintah Aljazair terus berupaya mengembalikan peran strategis sektor pertanian. Investasi pada teknologi, benih unggul, dan adaptasi terhadap iklim menjadi fokus utama dalam beberapa tahun terakhir.
Sejarah panjang pertanian Aljazair menunjukkan bahwa kejayaan bukanlah mitos. Ia pernah menjadi fondasi ekonomi dan politik kawasan Mediterania, sekaligus saksi bagaimana kolonialisme dan perubahan global mengubah wajah ketahanan pangan.
Dari ladang gandum Numidia hingga tantangan modern abad ke-21, pertanian Aljazair mencerminkan perjalanan panjang sebuah negeri yang pernah memberi makan dunia dan kini berjuang memberi makan dirinya sendiri.

