Situasi pemerintahan di Darfur, Sudan, kini berada dalam kondisi yang sangat rumit. Tidak ada satu otoritas tunggal yang benar-benar berkuasa penuh di kawasan tersebut. Sebaliknya, berbagai kekuatan saling mengklaim kendali, menciptakan lanskap politik yang kompleks dan penuh ketidakpastian. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi masyarakat Darfur yang selama puluhan tahun hidup dalam bayang-bayang konflik dan ketidakstabilan.
Otoritas Regional Transisi Darfur (Transitional Darfur Regional Authority/TDRA) sejatinya dibentuk untuk menjadi jembatan perdamaian. Lembaga ini lahir dari perjanjian damai dengan tujuan mengelola masa transisi dan memastikan keterlibatan politik masyarakat Darfur. Namun, peran TDRA seringkali terbentur oleh dominasi pemerintah pusat dan paralel serta kekuatan militer di lapangan.
Di sisi lain, Pemerintah Pusat Sudan yang diakui dunia melalui Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) terus mengklaim otoritas penuh atas TDRA Darfur. SAF berusaha mempertahankan legitimasi sebagai penguasa sah negara, tetapi lemahnya kontrol dan konflik berkepanjangan membuat klaim tersebut kerap dipertanyakan. Kekosongan otoritas di lapangan justru sering dimanfaatkan oleh aktor-aktor lokal.
Salah satu kekuatan terbesar yang kini menguasai Darfur adalah Pasukan Pendukung Cepat (Rapid Support Forces/RSF). Kelompok paramiliter ini bukan hanya mengendalikan wilayah, tetapi juga membentuk pemerintahan tandingan di Nyala disebut TASIS. RSF beroperasi layaknya negara dalam negara dengan struktur kekuasaan sendiri, menambah lapisan kompleksitas politik di Darfur. TASIS tidak memasukkan struktur Gubernur Regional TDRA dalam strukturnya, sehingga beberapa negara bagian Darfur mempunyai gubernur masing-masing.
Selain itu, kelompok pemberontak seperti Gerakan Pembebasan Sudan (Sudan Liberation Movement/SLM) masih memiliki pengaruh signifikan di beberapa bagian wilayah. Mereka memiliki pemerintahan sendiri di kantong wilayah yang dikuasai seperti Jebel Marrah. Meski tidak sebesar RSF, kelompok ini tetap memainkan peran penting dalam dinamika politik dan keamanan Darfur. Mereka menolak tunduk sepenuhnya pada pemerintah pusat dan otoritas transisi TDRA maupun pemerintahan paralel di Nyala.
Kondisi ini membuat Darfur seolah menjadi mosaik pemerintahan yang terfragmentasi. Di satu sisi, keadaan ini menciptakan ketidakpastian hukum, politik, dan ekonomi. Namun di sisi lain, jika dikelola dengan tepat, keberagaman otoritas ini bisa menjadi peluang untuk menghadirkan pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyat.
Skenario idealnya adalah ketika pemerintahan pusat di Khartoum melemah atau membeku akibat konflik, maka otoritas regional seperti TDRA mampu mengambil alih peran administratif. Hal ini dapat menciptakan kesinambungan layanan publik dan mengurangi penderitaan warga. Dengan demikian, absennya Khartoum tidak otomatis berujung pada kekacauan total.
TDRA dapat bekerja sama dengan kelompok lokal, termasuk faksi pemberontak yang bersedia berdialog, untuk membentuk tata kelola bersama. Jika langkah ini dilakukan, kehadiran pemerintah lokal bisa lebih nyata dan efektif ketimbang menunggu instruksi dari pusat yang sering tertunda.
Selain itu, keberadaan RSF yang sudah mengakar di lapangan dapat diarahkan pada peran yang lebih konstruktif. Meski sulit, tekanan internasional dan mekanisme perdamaian dapat mendorong RSF membuka ruang koordinasi dengan TDRA maupun kelompok lokal lain demi pelayanan masyarakat.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa pemerintahan regional bisa menjadi solusi sementara di tengah vakumnya otoritas pusat. Misalnya, di beberapa wilayah Irak pasca 2003, pemerintahan lokal mengambil alih fungsi layanan dasar ketika Baghdad lumpuh akibat perang. Darfur bisa belajar dari pola serupa. Darfur dapat disebut kini menjadi seperti daerah otonomi Kurdistan di Irak atau wilayah SDF Kurdi di Suriah yang secara tidak resmi menguasai Hasakah, sebagian Raqqa dan Deir Ezzour.
Kunci utama agar skenario ini berjalan adalah adanya mekanisme koordinasi antarkelompok. Darfur tidak bisa terus dibiarkan menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa arah. Perlu ada forum bersama yang mengikat semua pihak untuk mengutamakan kepentingan rakyat.
Masyarakat Darfur yang menjadi korban utama konflik harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat akan memperkuat legitimasi setiap bentuk pemerintahan regional, sekaligus menekan dominasi kelompok bersenjata yang hanya mengejar kepentingan politik sempit.
Jika dikelola dengan baik, kompleksitas pemerintahan di Darfur justru bisa menjadi bentuk desentralisasi alami. Wilayah yang selama ini merasa terpinggirkan bisa mendapatkan kesempatan lebih besar untuk menentukan nasib sendiri tanpa harus bergantung penuh pada Khartoum.
Namun risiko yang harus diantisipasi adalah fragmentasi yang semakin dalam. Tanpa kesepakatan minimal antarkelompok, Darfur bisa terjerumus pada situasi seperti Somalia di masa lalu, di mana setiap faksi membangun kekuasaan sendiri tanpa arah nasional yang jelas.
Peran komunitas internasional, termasuk PBB dan Uni Afrika, tetap penting. Mereka bisa menjadi penengah agar perebutan pengaruh di Darfur tidak semakin memperburuk penderitaan warga sipil. Tekanan diplomatik dapat memaksa para aktor bersenjata untuk menempatkan kepentingan kemanusiaan di atas ambisi politik.
Di sisi ekonomi, pemerintahan regional Darfur bisa mengelola sumber daya lokal untuk kebutuhan masyarakat. Dengan adanya struktur pemerintahan yang lebih dekat, distribusi bantuan dan pembangunan bisa dilakukan lebih cepat dan tepat sasaran.
Darfur memiliki potensi besar di sektor pertanian dan perdagangan lintas perbatasan. Jika stabilitas bisa diciptakan, sektor-sektor ini bisa dihidupkan kembali untuk menopang kemandirian ekonomi wilayah, sehingga mengurangi ketergantungan pada bantuan dari pusat.
Pada akhirnya, kompleksitas pemerintahan di Darfur bukan hanya sekadar tantangan, tetapi juga peluang. Keberagaman aktor politik bisa dijadikan dasar untuk membangun model tata kelola yang lebih inklusif dan adaptif dengan realitas lokal.
Masyarakat Darfur sudah terlalu lama menjadi korban konflik. Skenario pemerintahan regional yang kuat, partisipatif, dan terkoordinasi bisa menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan memanfaatkan kompleksitas yang ada secara positif, Darfur berpeluang keluar dari lingkaran krisis berkepanjangan.
Sudan, khususnya Darfur, sedang berada di persimpangan jalan sejarah. Apakah kompleksitas ini akan berubah menjadi bencana atau justru menjadi fondasi bagi pemerintahan yang lebih inklusif, sangat bergantung pada kemampuan para pihak untuk melihat kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.
Perbandingan
Perbandingan situasi Darfur dengan beberapa wilayah di Tiongkok kerap muncul dalam analisis politik. Darfur saat ini tidak memiliki satu otoritas tunggal yang mengendalikan seluruh wilayah. Beberapa kekuatan bersenjata maupun otoritas transisi berjalan paralel, menciptakan peta kekuasaan yang kompleks. Gambaran ini sekilas mengingatkan pada hubungan pusat-periferi di Tiongkok, khususnya antara Beijing dengan Hongkong, Macau, Tibet, maupun Xinjiang.
Nyala, ibu kota Darfur Selatan, menjadi pusat administrasi yang saat ini menampilkan fenomena pemerintahan paralel. Di satu sisi ada klaim dari pemerintah pusat Khartoum, namun di sisi lain muncul struktur pemerintahan lokal yang dikendalikan oleh kelompok bersenjata. Kondisi ini mirip dengan posisi Taiwan yang secara de facto menjalankan pemerintahan sendiri, meski secara internasional masih diklaim sebagai bagian dari Tiongkok.
Daerah Jebel Marrah yang menjadi basis kuat Gerakan Pembebasan Sudan (SLM) juga memiliki dinamika khusus. Kelompok ini menjaga kekuasaan di wilayah pegunungan dengan struktur pemerintahan yang terpisah dari Khartoum. Pola ini sekilas menyerupai Macau yang memiliki tingkat otonomi tertentu dalam sistem "satu negara dua sistem". Perbedaannya, Macau mendapatkan pengakuan formal dari Beijing, sedangkan SLM masih dianggap pemberontak.
Sementara itu, perbandingan Darfur dengan Hongkong terlihat dari bagaimana masyarakat lokal menghadapi tarik-menarik antara pusat dan wilayah. Hongkong menikmati otonomi luas sebelum konflik politik beberapa tahun terakhir, sementara Darfur melalui Otoritas Transisi mencoba mendapatkan porsi pengelolaan sendiri. Namun, ketegangan dengan pemerintah pusat membuat otonomi ini selalu berada dalam posisi rapuh.
Tibet dan Xinjiang juga menjadi analogi yang relevan untuk menggambarkan wilayah Darfur yang terus mengalami intervensi militer. Seperti halnya Beijing mengendalikan Tibet dan Xinjiang dengan tangan besi, Khartoum melalui Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) berusaha mempertahankan otoritasnya atas Darfur. Namun, resistensi lokal membuat penguasaan penuh sulit dicapai.
Persamaan lain terlihat pada aspek identitas. Darfur memiliki sejarah panjang perbedaan etnis dan politik dengan pusat di Khartoum, sama halnya dengan Tibet dan Xinjiang yang memiliki akar budaya, bahasa, dan agama yang berbeda dari mayoritas Han di Tiongkok. Faktor identitas ini sering menjadi bahan bakar konflik berkepanjangan.
Meski begitu, Darfur lebih kompleks karena adanya banyak aktor bersenjata, bukan hanya pusat dan daerah. Di Tiongkok, kendali Beijing relatif solid meski menghadapi resistensi. Di Darfur, keberadaan SAF, RSF, TDRA, hingga kelompok pemberontak seperti SLM membuat struktur politik lebih terfragmentasi. Hal inilah yang membuat perbandingan dengan model "satu negara dua sistem" tidak sepenuhnya bisa diterapkan.
Jika melihat potensi positif, pola pemerintahan paralel di Nyala atau daerah SLM di Jebel Marrah bisa menjadi pintu masuk untuk otonomi yang lebih formal, seperti halnya Hongkong dan Macau pernah menjadi. Namun, tanpa kesepakatan politik yang jelas, kondisi ini lebih mendekati konflik berkepanjangan ketimbang model tata kelola bersama.
Perbandingan dengan Taiwan menyoroti bagaimana pemerintahan paralel bisa bertahan lama meski tanpa pengakuan penuh. Jika Nyala atau kekuatan lokal lain di Darfur berhasil membangun institusi yang kuat, bukan tidak mungkin pola serupa bertahan dalam jangka panjang. Namun, risiko benturan dengan Khartoum selalu ada, sebagaimana hubungan Taiwan-Beijing yang penuh ketegangan.
Pada akhirnya, Khartoum tetaplah pusat yang mirip dengan Beijing dalam analogi ini. Ia berusaha mempertahankan klaim kedaulatan penuh atas Darfur, sama seperti Beijing atas wilayah-wilayah pinggirannya. Pertanyaan yang tersisa adalah apakah kompleksitas ini akan berakhir dengan integrasi penuh, otonomi yang diakui, atau justru fragmentasi lebih dalam. Darfur masih berada dalam fase pencarian bentuk yang belum pasti.