Ethiopia kembali mencuri perhatian dunia internasional dengan ambisinya membangun kekuatan laut meski statusnya kini negara tanpa pantai. Langkah ini membuka babak baru geopolitik di kawasan Laut Merah yang sejak lama menjadi jalur strategis dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, Addis Ababa mulai menjajaki dua opsi akses maritim: pelabuhan Assab di Eritrea dan pelabuhan Berbera di Somaliland.
Assab memiliki nilai historis yang sangat penting bagi Ethiopia. Sebelum Eritrea merdeka pada 1993, Assab adalah salah satu pelabuhan utama bagi perdagangan internasional Ethiopia. Kehilangan Assab dan Massawa membuat Ethiopia terkunci di daratan. Sejak saat itu, negeri berpopulasi lebih dari 120 juta jiwa ini terpaksa bergantung pada Djibouti untuk 95 persen perdagangan luar negerinya.
Namun, sejak rekonsiliasi Ethiopia dan Eritrea pada 2018, pintu peluang kembali terbuka. Assab yang kini dikelola secara operasional oleh Uni Emirat Arab menjadi jalur yang sesekali dipakai Ethiopia untuk melatih calon pasukan angkatan lautnya. Meski sifatnya tidak permanen, kerja sama ini menjadi simbol ambisi Ethiopia untuk kembali memiliki armada laut.
Sejarah Assab juga memperlihatkan betapa pelabuhan ini menjadi rebutan banyak kekuatan global. Pada 1990-an, berbagai laporan menyebut Israel membangun stasiun radar dan fasilitas intelijen di Assab dan kepulauan Dahlak. Tujuannya untuk memantau jalur senjata ke Timur Tengah dan mengawasi aktivitas Iran di Laut Merah.
Pada awal 2000-an, justru Iran yang dikabarkan menjalin hubungan erat dengan Eritrea. Kapal-kapal Iran disebut pernah singgah di Assab, terutama untuk mengalirkan logistik ke Sudan dan Yaman. Namun, orientasi politik Eritrea berbalik ketika konflik Yaman pecah pada 2015. Saat itu, Asmara mengizinkan Uni Emirat Arab menggunakan Assab sebagai basis operasi militer melawan Houthi.
Di bawah kendali Uni Emirat Arab, Assab berubah drastis. UAE membangun landasan udara besar, pangkalan drone, dan gudang logistik yang menunjang operasi mereka di Yaman. Keberadaan fasilitas ini membuat Assab menjadi salah satu pangkalan militer Teluk terkuat di kawasan Laut Merah. Eritrea pun mendapatkan keuntungan finansial dari sewa fasilitas tersebut.
Ketika perang Yaman mereda, aktivitas UAE di Assab sedikit menurun, tetapi infrastruktur militernya tetap ada. Hal ini membuka peluang baru bagi Ethiopia untuk menempatkan perwira lautnya berlatih di sana. Namun, Ethiopia tidak bisa melakukannya tanpa restu Abu Dhabi, mengingat UAE adalah pengelola utama Assab saat ini.
Sementara itu, Ethiopia juga membuka jalur alternatif dengan Somaliland. Pada awal 2024, Addis Ababa menandatangani nota kesepahaman dengan Hargeisa yang memberi peluang Ethiopia memperoleh akses laut, kemungkinan di sekitar pelabuhan Berbera. Sebagai imbalan, Ethiopia berjanji mempertimbangkan pengakuan Somaliland sebagai negara merdeka, sebuah langkah yang memicu kemarahan Somalia.
Pelabuhan Berbera yang dikelola DP World dari Uni Emirat Arab telah berkembang menjadi pelabuhan modern. Letaknya strategis di Teluk Aden, tepat di jalur pelayaran internasional menuju Terusan Suez. Jika Ethiopia benar-benar mendapatkan akses jangka panjang, maka peluang memiliki pangkalan angkatan laut permanen semakin terbuka.
Namun, langkah ini tidak tanpa risiko. Somalia menolak keras rencana tersebut karena masih menganggap Somaliland bagian dari wilayahnya. Ketegangan politik ini berpotensi menyeret kawasan ke dalam konflik baru. Negara-negara seperti Mesir, Djibouti, dan bahkan Eritrea bisa terdampak oleh dinamika baru yang ditimbulkan dari kesepakatan Ethiopia–Somaliland.
Mesir sendiri memainkan peran penting dalam percaturan ini. Kairo yang memiliki perseteruan dengan Addis Ababa terkait Bendungan GERD di Sungai Nil, justru mendorong penguatan angkatan laut Somalia. Dukungan militer Mesir terhadap Mogadishu dapat dibaca sebagai upaya menekan Ethiopia agar tidak leluasa menguasai jalur Laut Merah melalui Somaliland.
Dengan langkah tersebut, Mesir berusaha memastikan Somalia tetap menjadi mitra strategisnya. Jika Ethiopia berhasil mengamankan pangkalan laut di Berbera, Mesir khawatir kekuatan Addis Ababa semakin besar dan bisa mengancam keseimbangan kawasan. Apalagi Ethiopia memiliki populasi dan potensi militer darat yang sudah kuat.
Bagi Ethiopia, dua opsi ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Assab menawarkan kedekatan geografis dengan Ethiopia bagian utara, tetapi sifatnya sementara dan sangat bergantung pada politik Eritrea serta persetujuan Uni Emirat Arab. Sementara Berbera menjanjikan peluang permanen, namun penuh risiko diplomatik karena status Somaliland yang tidak diakui internasional.
Kawasan Laut Merah memang menjadi magnet geopolitik. Jalur ini menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa dengan arus perdagangan energi yang vital. Tak heran bila pelabuhan kecil seperti Assab dan Berbera menjadi incaran berbagai kekuatan global, dari Israel, Iran, hingga negara Teluk seperti Uni Emirat Arab.
Sejarah Assab membuktikan hal itu. Dari pusat perdagangan Ethiopia, beralih ke pos intelijen Israel, lalu sempat disentuh Iran, hingga akhirnya menjadi pangkalan militer UAE, kini pelabuhan ini kembali jadi rebutan melalui keinginan Ethiopia. Masing-masing aktor memiliki kepentingan yang berlapis, mulai dari keamanan, perdagangan, hingga politik regional.
Jika Ethiopia benar-benar berhasil membangun kembali angkatan lautnya, maka peta kekuatan di Laut Merah akan berubah. Negeri yang selama tiga dekade hidup tanpa pantai bisa kembali hadir sebagai pemain maritim regional, meski dengan cara yang tidak konvensional.
Namun, jalan ke sana tidaklah mudah. Ethiopia harus menavigasi hubungan rumit dengan Eritrea, bernegosiasi dengan UAE, menghadapi penolakan Somalia, dan bersaing dengan strategi Mesir. Semua itu membutuhkan diplomasi tingkat tinggi sekaligus konsistensi dalam membangun kekuatan laut yang selama ini mati suri.
Bagi kawasan, kehadiran angkatan laut Ethiopia bisa berarti keseimbangan baru, tetapi juga potensi ketegangan tambahan. Laut Merah dan Teluk Aden sudah padat dengan kepentingan Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, hingga negara-negara Teluk. Menambah Ethiopia ke dalam daftar tentu akan memperumit dinamika keamanan.
Dalam kondisi demikian, Assab dan Berbera menjadi simbol pertaruhan besar. Satu berada di bawah bayang-bayang UAE dan sejarah panjang intervensi asing, sementara yang lain berdiri di persimpangan status politik yang kontroversial. Bagi Ethiopia, keduanya sama-sama menawarkan peluang sekaligus tantangan yang akan menentukan masa depan ambisinya di laut.
Pada akhirnya, obsesi Ethiopia untuk kembali ke samudra bukan hanya soal strategi militer, tetapi juga harga diri sebuah bangsa. Negara yang dulu dikenal sebagai kekuatan darat di Afrika kini berusaha merebut kembali posisi di jalur perdagangan dunia. Dan dalam proses itu, Assab dan Berbera menjadi panggung di mana sejarah baru sedang ditulis.

