Diam-diam Korea Selatan Raup Untung Perang dan Genosida di Gaza

Di tengah sorotan dunia atas agresi militer Israel di Gaza, Korea Selatan justru mengambil langkah yang bertolak belakang dari sebagian besar komunitas internasional. Negara itu diam-diam meningkatkan ekspor senjatanya ke Israel, bahkan ketika banyak negara berikrar untuk menghentikan suplai persenjataan ke Tel Aviv karena tuduhan genosida terhadap warga Palestina. Dari Januari hingga Agustus 2024 saja, Korea Selatan telah mengekspor senjata ke Israel senilai hampir 6 juta dolar AS, angka yang menunjukkan lonjakan signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Korea Selatan, India, AS, Jerman dkk menjadi pemasok utama senjata untuk Israel.

Laporan dari kelompok sipil Korea, People's Solidarity for Participatory Democracy (PSPD), mengungkap bahwa transaksi ini berlangsung dalam senyap dan tanpa sorotan publik. Angka ekspor senjata Korea Selatan ke Israel selama 2023 mencapai lebih dari 16 juta dolar AS. Namun, di tahun 2024, transaksi berlangsung dalam iklim konflik yang lebih memanas, seiring meningkatnya serangan Israel ke Jalur Gaza dan persiapan terbuka menuju konfrontasi militer langsung dengan Iran.

Yang mengejutkan, ekspor ini terus berlanjut meskipun negara-negara seperti Spanyol, Belgia, dan bahkan beberapa negara Nordik telah menyuarakan larangan pengiriman senjata ke Israel. Korea Selatan tampaknya mengambil posisi oportunistik, melihat konflik sebagai peluang ekspansi industri pertahanan mereka yang tengah berkembang pesat.

Di sisi lain, ekspor senjata Korea Selatan tidak hanya tertuju pada Israel. Sejumlah negara Arab justru menjadi pelanggan aktif industri pertahanan Korea Selatan. Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Mesir tercatat memesan berbagai sistem persenjataan dari Seoul, mulai dari kendaraan tempur lapis baja, artileri, hingga rudal pertahanan udara.

Pertanyaannya, mengapa negara-negara Arab tersebut tidak memesan dari negara-negara lain seperti Brasil, Indonesia, Pakistan, atau Bangladesh yang juga memiliki industri militer dan cenderung bersikap lebih pro-Palestina? Salah satu jawabannya adalah kredibilitas Korea Selatan sebagai mitra teknologi militer yang sudah teruji di medan perang serta keluwesan diplomatiknya yang tidak terlalu ideologis.

Selain itu, produk-produk militer Korea Selatan dinilai lebih modern dan kompatibel dengan sistem persenjataan Barat. Hal ini mempermudah integrasi ke dalam sistem militer negara-negara yang juga memiliki hubungan dengan AS atau NATO. Sementara itu, negara seperti Pakistan atau Bangladesh lebih fokus pada kebutuhan internal dan regionalnya ketimbang ekspor strategis global.

Indonesia memang telah mencoba mengembangkan industri pertahanan dan melakukan ekspor, tetapi belum mencapai skala serta kepercayaan global yang dimiliki Korea Selatan. Sementara Brasil masih menghadapi tantangan politik domestik yang membuat posisi ekspor senjata mereka tidak konsisten.

Korea Selatan sendiri tidak terlalu vokal dalam isu Palestina-Israel. Hal ini memungkinkan mereka menjaga hubungan baik dengan kedua pihak, meskipun secara nyata Seoul lebih dekat ke kubu Barat dan Israel dalam soal teknologi dan intelijen militer. Diamnya Korea Selatan dalam isu ini memberikan ruang manuver bagi industri senjatanya untuk bertumbuh di tengah konflik.

Ekspor senjata ke Israel juga memberi Korea Selatan kesempatan menguji produk militer mereka secara langsung dalam situasi perang. Beberapa teknologi Korea yang digunakan Israel kemudian diperbarui berdasarkan hasil pengujian lapangan tersebut, sebuah nilai tambah bagi perkembangan teknologi pertahanan Seoul.

Keterlibatan Korea Selatan dalam suplai senjata ke Israel juga memperkuat hubungan strategis bilateral di luar bidang ekonomi dan teknologi sipil. Hubungan ini mencakup kerja sama intelijen, keamanan siber, dan pertukaran teknologi tinggi di bidang drone, komunikasi, dan AI militer.

Meski menghadapi protes dari sejumlah LSM dan mahasiswa Palestina di dalam negeri, pemerintah Korea Selatan sejauh ini tetap bungkam terhadap tekanan tersebut. Sebuah narasi resmi dari pemerintah belum dikeluarkan, dan tampaknya Seoul berusaha mempertahankan kebijakan luar negeri yang tidak terlalu terdampak opini publik.

Kisah Nareman, mahasiswi Palestina di Korea Selatan, menggambarkan dilema moral yang dirasakan banyak diaspora Palestina di negara-negara pendukung Israel. Ia harus membaca berita dari kampung halamannya setiap malam, takut kehilangan keluarga, sementara pemerintah tempat ia belajar justru menjual senjata kepada pihak yang menyerang desanya.

Ironisnya, saat publik Korea Selatan memperingati “Hari Solidaritas Palestina” dan menuntut penghentian perang, negaranya justru memperkuat kontribusinya terhadap mesin perang Israel. Ini memperlihatkan adanya jurang antara suara masyarakat sipil dan arah kebijakan negara yang lebih pragmatis dan berorientasi bisnis.

Korea Selatan tampaknya akan terus memperluas ekspor senjatanya di kawasan Timur Tengah. Selain Israel dan negara-negara Arab, Korea juga membidik pasar di Asia Selatan dan Afrika Utara sebagai bagian dari strategi globalisasi industri pertahanannya.

Langkah Korea Selatan ini mengundang pertanyaan mendalam tentang etika global dalam perdagangan senjata. Di saat sebagian dunia berusaha menghentikan konflik, negara seperti Korea justru mengambil peran sebagai penyuplai dalam perang yang dituding sebagai genosida.

Keuntungan ekonomi jangka pendek tampaknya menjadi prioritas utama bagi Seoul, terlepas dari konsekuensi moralnya. Di era di mana diplomasi senjata menjadi alat pengaruh global, Korea Selatan kini muncul sebagai pemain penting yang tak banyak disorot, namun membawa dampak besar dalam perang paling brutal dekade ini.


Post a Comment