Langit Suriah kembali menjadi jalur perang dua kekuatan besar Timur Tengah: Iran dan Israel. Rudal-rudal jarak jauh melintas di atas Damaskus pada pertengahan Juni 2025, membawa kekhawatiran dan kegelisahan bagi masyarakat setempat. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, pemerintah Suriah memilih menahan diri dan tidak memberikan reaksi militer maupun retorika politik yang terbuka.
Sikap ini bukanlah bentuk keberpihakan atau ketakutan, melainkan cerminan realitas yang dihadapi Suriah saat ini. Negara yang baru keluar dari bayang-bayang perang saudara selama lebih dari satu dekade sedang memulihkan diri secara perlahan. Sumber daya militer yang terbatas dan sistem pertahanan udara yang telah banyak rusak membuat Damaskus tidak memiliki cukup kemampuan untuk merespons ancaman udara yang datang dari luar negeri.
Berbeda dengan masa lalu, ketika rezim Bashar al-Assad menjalin hubungan erat dengan Rusia dan Iran, pemerintah transisi Suriah saat ini sedang merintis arah baru kebijakan luar negeri. Pendekatan yang lebih seimbang ditunjukkan dengan intensifikasi hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Turki, Qatar, dan sejumlah negara Teluk Arab lainnya. Arah ini mencerminkan semangat rekonsiliasi dan pembaruan di kawasan.
Meski kedekatan historis Suriah dengan Iran dan Rusia masih dikenang, kini Damaskus lebih menempatkan kepentingan nasionalnya di atas aliansi ideologis. Pemerintah memilih jalan pragmatis: tidak terlibat dalam perang yang bukan miliknya, sambil fokus pada rekonstruksi dalam negeri dan penguatan lembaga-lembaga negara.
Dalam konteks ini, diamnya Suriah bukan karena membiarkan pelanggaran terhadap kedaulatannya, melainkan karena keterbatasan dalam merespons secara efektif. Militer Suriah kehilangan sebagian besar kapasitas pertahanannya setelah serangkaian serangan udara Israel yang dilaporkan telah menghancurkan lebih dari 85 persen sistem pertahanan udara negara itu.
Menurut sumber militer Israel, lebih dari 500 titik di Suriah telah menjadi sasaran, dengan 1.800 jenis senjata digunakan dalam operasi-operasi udara sejak keruntuhan rezim lama. Serangan itu bukan hanya menargetkan posisi Iran, tetapi juga melemahkan kemampuan Suriah dalam menjaga wilayah udaranya sendiri. Situasi ini mendorong pemerintah baru untuk menghindari keterlibatan langsung dalam konflik militer berskala besar.
Ironisnya, Suriah di masa lalu pernah menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi Israel secara langsung. Salah satu momen paling mencolok adalah ketika rudal S-200 buatan Soviet yang diluncurkan dari wilayah Suriah diduga berhasil mengenai jet tempur siluman F-35 milik Israel pada tahun 2017. Klaim itu, meski diperdebatkan, sempat membuat geger karena menunjukkan bahwa teknologi tua pun bisa mengguncang superioritas militer modern.
Namun kini, keberanian semacam itu bukan menjadi prioritas. Suriah memilih untuk fokus pada pemulihan bangsa. Politik luar negerinya lebih mengarah pada keterlibatan damai, memperkuat hubungan regional, dan menghindari provokasi yang tidak akan menguntungkan dalam jangka panjang.
Kedekatan dengan Turki, meskipun pernah berseteru selama perang saudara, telah dibangun kembali melalui jalur diplomatik. Qatar, yang memainkan peran aktif dalam diplomasi kawasan, juga menjadi mitra penting dalam mendorong stabilitas dan bantuan ekonomi. Dukungan ini memberikan Suriah jalur alternatif dalam menghadapi tekanan geopolitik dari berbagai arah.
Namun, tantangan tetap besar. Di wilayah perbatasan Golan, militer Israel melanjutkan aksi-aksi sepihaknya, termasuk perataan kawasan hutan dan infrastruktur lingkungan di wilayah Quneitra. Pemerintah Suriah belum mampu menghentikan agresi ini karena kurangnya kemampuan tempur yang memadai, bukan karena ketidaksediaan untuk mempertahankan wilayahnya.
Masyarakat Suriah memahami dilema ini. Mereka mendambakan stabilitas, bukan peperangan baru. Mereka menginginkan pemulihan ekonomi, pendidikan yang layak, dan sistem kesehatan yang memadai, bukan lagi menjadi medan tempur bagi kekuatan asing yang bertikai.
Kebijakan menahan diri ini perlu dipahami sebagai bagian dari strategi jangka panjang Suriah dalam mengembalikan posisi dan harga dirinya di panggung dunia. Dengan membuka jalur ke berbagai negara di luar poros lama Rusia-Iran, Suriah mencoba merancang masa depan yang lebih mandiri dan tidak lagi bergantung pada kekuatan militer untuk mempertahankan eksistensinya.
Suriah kini berada di jalur baru. Diamnya bukan bentuk ketundukan, melainkan pernyataan tegas bahwa konflik tidak harus dijawab dengan konflik. Di tengah rudal-rudal yang terbang melintasi langitnya, Damaskus sedang membangun ulang tanahnya—bukan dengan senjata, tapi dengan diplomasi dan harapan.