BeritaDEKHO - Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri adalah seorang ulama sufi dan sastrawan yang hidup pada abad ke-16.
Ia diyakini mempunyai orang tua yang berasal dari Barus (sekarang di Sumatera Utara, dulu di bawah pengaruh Aceh), namun Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.
Ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkah dan Madinah.
Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah SWT. Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan Arab.
Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab.
Dia mengguasau ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan sastranya.
Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel.
Beliau membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari Simpangkiri.
Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud).
Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani (baca). Bersama dengan muridnya ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry (baca), ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda.
Ar-Raniry menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis.
Ribuan buku karangan penulis wujudiyah ditumpuk di depan Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai musnah.
Warisan Hamzah Fansuri dalam sastra Melayu sudah tak diragukan lagi.
Namanya (lihat) kini diabadikan menjadi bandara Syekh Hamzah Fansuri di Singkil, Aceh. (sumber/adm)
Lihat info alumni India lainnya di sini
Ia diyakini mempunyai orang tua yang berasal dari Barus (sekarang di Sumatera Utara, dulu di bawah pengaruh Aceh), namun Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.
Ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkah dan Madinah.
Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah SWT. Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan Arab.
Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab.
Dia mengguasau ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan sastranya.
Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel.
Beliau membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari Simpangkiri.
Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud).
Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani (baca). Bersama dengan muridnya ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry (baca), ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda.
Ar-Raniry menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis.
Ribuan buku karangan penulis wujudiyah ditumpuk di depan Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai musnah.
Warisan Hamzah Fansuri dalam sastra Melayu sudah tak diragukan lagi.
Namanya (lihat) kini diabadikan menjadi bandara Syekh Hamzah Fansuri di Singkil, Aceh. (sumber/adm)
Lihat info alumni India lainnya di sini